Hukum khuruuj (keluar) bersama jamaah tablig (Syeikh Mustafa eladawy)

Jumat, 26 Maret 2010

Riwayat Hidup Maulana Muhammad Ilyas rah.a.[1]

Maulana Muhammad Ilyas Al-Kandahlawy lahir pada tahun 1303 H. (1886) di desa Kandahlah di kawasan Muzhafar Nagar, Utar Prades, India. Ayahnya bernama Syaikh Ismail dan Ibunya bernama Shafiyah Al-Hafidzah. Keluarga Maulana Muhammad Ilyas terkenal sebagai gudang ilmu agama dan memiliki sifat wara’. Saudaranya antara lain Maulana Muhammad yang tertua, dan Maulana Muhammad Yahya. Sementara Maulana Muhammad Ilyas adalah anak ketiga dari tiga bersaudara ini.

Maulana Muhammad Ilyas pertama kali belajar agama pada kakeknya Syaikh Muhammad Yahya, beliau adalah seorang guru agama pada madrasah di kota kelahirannya. Kakeknya ini adalah seorang penganut mazhab Hanafi dan teman dari seorang ulama dan penulis Islam terkenal, Syaikh Abul Hasan Al-Hasani An-Nadwi yang merupakan seorang direktur pada lembaga Dar Al-‘Ulum di Lucknow, India[2]. Ayah beliau Syaikh Muhammad Ismail adalah seorang ruhaniawan besar yang suka menjalani hidup dengan ber’uzhlah, berkhalwat dan beribadah, membaca Al-Qur’an dan melayani para musafir yang datang dan pergi serta mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama.

Beliau selalu mengamalkan do’a ma’tsur dari hadits untuk waktu dan keadaan yang berlainan. Perangainya menyukai kedamaian dan keselamatan serta bergaul dengan manusia dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, tidak seorangpun meragukan dirinya. Bahkan beliau menjadi tumpuan kepercayaan para ulama sehingga mampu membimbing berbagai tingkat kaum muslimin yang terhalang oleh perselisihan di antara mereka. Adapun ibunda beliau Shafiyah Al-Hafidzah adalah seoarang Hafidzah Al-Qur’an. Istri kedua dari Syaikh Muhammad Ismail ini selalu menghatamkan Al-Qur’an, bahkan sambil bekerjapun mulutnya senantiasa bergerak membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang sedang ia hafal.

Maulana Muhammad Ilyas sendiri mulai mengenal pendidikan pada sekolah Ibtidaiyah (dasar). Sejak saat itulah beliau mulai menghafal Al-Qur’an, hal ini di sebabkan pula oleh kebiasaan yang ada dalam keluarga Syaikh Muhammad Ismail yang kebanyakan dari mereka adalah hafidzh Al-Qur’an. Sehingga diriwayatkan bahwa dalam shalat berjama’ah separuh shaff bagian depan semuanya adalah hafidzh terkecuali muazzin saja. Sejak kecil telah tampak ruh dan semangat agama dalam dirinya, beliau memilki kerisauan terhadap umat, agama dan dakwah. Sehingga ‘Allamah Asy-Syaikh Mahmud Hasan yang dikenal sebagai Syaikhul Hind (guru besar ilmu hadits pada madrasah Darul ‘Ulum Deoband) mengatakan, “sesungguhnya apabila aku melihat Maulana Ilyas aku teringat akan kisah perjuangan para sahabat”.

Pada suatu ketika saudara tengahnya, yakni Maulana Muhammad Yahya pergi belajar kepada seorang ‘alim besar dan pembaharu yang ternama yakni Syaikh Rasyid Ahmad Al-Gangohi, di desa Gangoh, kawasan Saranpur, Utar Pradesh, India. Maulana Muhammad Yahya belajar membersihkan diri dan menyerap ilmu dengan bimbingan Syaikh Rasyid. Hal ini pula yang membuat Maulana Muhammad Ilyas tertarik untuk belajar pada Syaikh Rasyid sebagaimana kakanya. Akhirnya Maulana Ilyas memutuskan untuk belajar agama menyertai kakaknya di Gangoh. Akan tetapi selama tinggal dan belajar di sana Maulana Ilyas selalu menderita sakit. Sakit ini ditanggungnya selama bertahun-tahun lamanya, tabib Ustadz Mahmud Ahmad putra dari Syaikh Gangohi sendiri telah memberikan pengobatan dan perawatan pada beliau.

Sakit yang dideritanya menyebabkan kegiatan belajarnyapun menurun, akan tetapi beliau tidak berputus asa. Banyak yang menyarankan agar beliau berhenti belajar untuk sementara waktu, beliau menjawab, ”apa gunanya aku hidup jika dalam kebodohan”. Dengan ijin Allah SWT, Maulana pun menyelesaiakan pelajaran Hadits Syarif, Jami’at Tirmidzi dan Shahih Bukhari, dan dalam jangka waktu empat bulan beliau sudah menyelesaikan Kutubus Sittah[3]. Tubuhnya yang kurus dan sering terserang sakit semakin membuat beliau bersemangat dalam menuntut ilmu, begitu pula kerisauannya yang bertambah besar terhadap keadaan umat yang jauh dari Syari’at Islam.

Ketika Syaikh Gangohi wafat pada tahun 1323 H, beliau baru berumur dua puluh lima tahun dan merasa sangat kehilangan guru yang paling dihormati. Hal ini membuatnya semakin taat beribadah pada Allah. Beliau menjadi pendiam dan hanya mengerjakan ibadah, dzikir, dan banyak mengerjakan amal-amal infiradi[4].





Maulana Muhammad Zakariya menuliskan:

Pada waktu aku mengaji sebuah kitab kepada beliau, aku datang padanya dengan kitab pelajaranku dan aku menunjukkan tempat pelajaran dengan jari kepadanya. Tetapi apabila aku salah dalam membaca, maka beliau akan memberi isyarat kepadaku dengan jarinya agar menutup kitab dan menghentikan pelajaran. Hal itu beliau maksudkan agar aku mempelajari kembali kitab tersebut, kemudian datang lagi pada hari berikutnya[5].

Beliau akhirnya berkenalan dengan Syaikh Khalid Ahmad As-Sharanpuri penulis kitab Bajhul Majhud Fi Hilli Alfazhi Abi Dawud dan akhirnya beliau berguru kepadanya. Semakin bertambah ilmu yang dimiliki membuat beliau semakin tawaddu'. Ketawaddu'an beliau di usia mudanya menyebabkan beliau dihormati di kalangan para Ulama dan Masyaikh. Syaikh Yahya, kakak kandung beliau sendiri tidak pernah memperlakukan beliau sebagai anak kecil, bahkan Syaikh Yahya sangat menghormati beliau.

Pada suatu ketika di Kandhla ada sebuah pertemuan yang dihadiri oleh ulama-ulama besar, di antaranya terdapat nama Syaikh Abdurrahman Ar-Raipuri, Syaikh Khalil Ahmad As-Sharanpuri, dan Syaikh Asyraf Ali At-Tanwi. Waktu itu tiba waktu sholat Ashar, mereka meminta Maulana Ilyas untuk mengimami sholat tersebut. Ustadz Badrul Hasan salah seorang di antara keluarga besar tersebut berkata, “alangkah panjang dan beratnya kereta api ini, namun alangkah ringan lokomotifnya”, kemudian salah seorang diantara hadirin menjawab,” tetapi lokomotif yang kuat itu justru karena ringannya”.

Akibat kematian kakaknya, Maulana Muhammad Yahya, pada 9 Agustus 1925, beliau mengalami goncangan batin yang cukup berat. Dua tahun setelah itu, menyusul kakaknya yang tertua, Maulana Muhammad. Beliau meninggal di Masjid Nawab Wali, Qassab Pura dan dimakamkan di Nizamuddin. Kematian Maulana Muhammad ini mendapat perhatian dari masyarakat sekitarnya. Beribu orang menziarahi jenazahnya. Setelah dimakamkan orang ramai meminta kepada Maulana Ilyas untuk menggantikan kakaknya di Nizamuddin padahal pada waktu itu beliau sedang menjadi salah seorang pengajar di Madrasah Mazhahirul ‘Ulum. Masyarakat bahkan menjanjikan dana bulanan kepada madrasah dengan syarat agar dapat diamalkan seumur hidupnya. Pada akhirnya, setelah mendapat ijin dari Maulana Khalil Ahmad dengan pertimbangan jika tinggalnya di Nizamuddin membawa manfaat maka Maulana Ilyas akan diberi kesempatan untuk berhenti mengajar. Beliau pun akhirnya pergi ke Nizamuddin, ke madarasah warisan ayahnya yang kosong akibat lama tidak dihuni. Dengan semangat mengajar yang tinggi beliaupun akhirnya membuka kembali madrasah tersebut.

Karena semangat yang tinggi untuk memajukan agama, beliaupun mendirikan Maktab di Mewat, tetapi kondisi geografis yang agraris menyebabkan masyarakatnya lebih menyukai anak-anak mereka pergi ke kebun atau ke sawah daripada ke Madrasah atau Maktab untuk belajar agama, membaca atau menulis. Dengan demikian Maulana Ilyas dengan terpaksa meminta orang Mewat untuk menyiapkan anak-anak mereka untuk belajar dengan pembiayaan yang ditanggung oleh Maulana sendiri. Besarnya pengorbanan Maulana hanya untuk memajukan pendidikan agama bagi masyarakat Mewat tidak mendapatkan perhatian. Bahkan mereka enggan menuntut ilmu, mereka senang hidup dalam kondisi yang sudah mereka jalani selama bertahun-tahun turun temurun.

Beliau melihat bahwa kebodohan, kegelapan dan sekularisme yang melanda negerinya sangat berpengaruh terhadap madrasah-madrasah. Para murid tidak mampu menjunjung nilai-nilai agama sebagaimana mestinya, sehingga gelombang kebodohan semakin melanda bagaikan gelombang lautan yang melaju deras sampai ratusan mil membawa mereka hanyut. Tetap saja masyarakat masih belum memiliki semangat agama. Kebanyakan mereka tidak begitu berminat untuk mengirimkan anak-anak mereka untuk belajar ilmu di Madrasah. Hal ini disebabkan mereka tidak tahu pentingnya ilmu agama, mereka pun tidak menaruh hormat pada lulusan Madrasah yang telah memberikan penerangan dan dakwah. Orang Mewat pun tidak mau mendengarkan apalagi mengikutinya. Kesimpulannya bahwa Madrasah-madrasah yang ada itu tidak mampu mengubah warna dan gaya hidup masyarakat[6].

Melihat keadaan Mewat yang sangat jahil itu semakin menambah kerisauan beliau akan keadaan umat Islam terutama masyarakat Mewat. Kunjungan-kunjungan diadakan bahkan madrasah-madrasah banyak didirikan, tetapi hal itu belum dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat Mewat. Dengan ijin Allah timbullah keinginannya untuk mengirimkan jama’ah dakwah ke Mewat. Pada tahun 1351 H/1931 M, beliau menunaikan haji yang ketiga ke tanah suci Makkah. Kesempatan tersebut dipergunakannya untuk menemui tokoh-tokoh India yang ada di Arab guna mengenalkan usaha dakwah dan dengan harapan agar usaha ini dapat terus dijalankan di tanah Arab. Keinginannya yang besar menyebabkan beliau berkesempatan menemui Sultan Ibnu Sa’ud yang menjadi raja tanah Arab untuk mengenalkan usaha mulia yang dibawanya. Selama di tanah Makkah Jama’ah bergerak setiap hari sejak pagi sampai petang, usaha dakwah terus dilakukan untuk mengajak orang taat kepada perintah Allah dan menegakkan dakwah.

Setelah pulang dari haji tersebut, Maulana mengadakan dua kunjungan ke Mewat, masing-masing disertai Jama’ah dengan jumlah yang cukup besar, paling sedikit seratus orang. Bahkan di beberapa tempat jumlah itu justru semakin membengkak. Kunjungan pertama dilakukan selama satu bulan dan kunjungan ke dua dilakukan hanya beberapa hari saja. Dalam kunjungan tersebut beliau selalu membentuk jama’ah-jama’ah yang dikirim ke kampung-kampung untuk berjaulah (berkeliling dari rumah ke rumah) guna menyampaikan pentingnya agama[7]. Beliau sepenuhnya yakin bahwa kebodohan, kelalaian serta hilangnya semangat agama dan jiwa keislaman itulah yang menjadi sumber kerusakan. Adapun satu-satu jalan adalah membujuk orang-orang Mewat agar keluar dari kampung halamannya untuk memperbaiki diri dan belajar agama, serta melatih kebiasaan-kebiasaan yang baik sehingga tumbuh kesadarannya untuk mencintai agama lebih daripada dunia dan mementingkan amal dari mal (harta).

Dari Mewat inilah secara berangsur-angsur usaha tabligh meluas ke Delhi, United Province, Punjab, Khurja, Aligarh, Agra, Bulandshar, Meerut, Panipat, Sonepat, Karnal, Rohtak dan daerah lainnya. Begitu juga di bandar-bandar pelabuhan banyak jama’ah yang tinggal dan terus bergerak menuju tempat-tempat yang ditargetkan sepeti halnya daerah Asia Barat[8]. Terbentuknya jama’ah ini adalah dengan ijin Allah melalui kerisauan seorang Maulana Muhammad Ilyas, menyebarlah jama’ah-jama’ah yang membawa misi ganda yaitu ishlah diri (perbaikan diri sendiri) dan mendakwahkan kebesaran Allah SWT kepada seluruh umat manusia. Perkembangan jama’ah ini semakin hari semakin tampak. Banyak jama’ah yang dikirim dari tempat-tempat yang dikunjungi jama’ah pun ada yang kemudian membentuk rombongan jama’ah baru sehingga silaturrahim antara kaum muslimin dengan muslim yang lain dapat terwujud. Gerakan jama’ah tidak hanya tersebar di India tetapi sedikit demi sedikit telah menyebar ke barbagai negara. Hanya kekuasaan Allah yang dapat memakmurkan dan membesarkan usaha ini.

Kerisauan akan keadaan umat semakin bertambah, jama’ah-jama’ah banyak dibentuk dan dikirim ke pelosok jazirah. Sehingga dengan ijin Allah usaha ini pun semakin meluas. Maulana Muhammad Ilyas tanpa henti terus memberi dorongan dan arahan ilmu dan pemikirannya untuk menjalankan usaha dakwah ini agar sampai ke seluruh alam. Dalam keadaan umur yang tua renta, Maulana terus bersemangat hingga tubuhnya yang kurus tidak mampu lagi untuk digerakkan ketika beliau menderita sakit. Pada hari terakhir dalam sejarah hidupnya Maulana mengirim utusan kepada Syaikhul Hadits Maulana Zakariya, Maulana Abdul Qodir Raipuri, dan Maulana Zafar Ahmad, bahwa beliau akan mengamanahkan kepercayaan sebagai amir jama’ah kepada sahabat-sahabatnya seperti Hafidz Maqbul Hasan, Qozi Dawud, Mulvi Ihtisamul Hasan, Mulvi Muhammad Yusuf, Mulvi Inamul Hasan, Mulvi Sayyid Raza Hasan. Pada saat itu terpilihlah Mulvi Muhammad Yusuf sebagai pengganti Maulana Muhammad Ilyas dalam memimpin usaha
dakwah dan tabligh[9].

Pada sekitar bulan Juli 1944 beliau jatuh sakit yang cukup parah, beliau hanya berbaring di tempat tidur dengan ditemani para pembantu dan muridnya. Kondisi tubuhnya yang telah lemah merupakan bukti nyata bahwa beliau bersungguh-sungguh menghabiskan waktu berdakwah Khuruj Fi Sabilillah mengembara dari satu tempat ke tempat lain bersama dengan Jama’ah untuk mendakwahkan kebesaran Allah dan kalimat Laa Ilaaha Illallah Muhammad Rasulullah.

Pada tanggal 13 Juli 1944, Maulana telah siap untuk menempuh perjalanannya yang terakhir. Beliau bertanya kepada salah seorang yang hadir, “apakah besok hari Kamis?”, yang di sekelilingnya menjawab,”benar”, kemudian beliau berkata lagi, “periksalah pakaianku, apakah ada najisnya atau tidak”, yang disekelilingnya berkata bahwa pakaian yang dikenakannya masih dalam keadaan suci. Kemudian beliau turun dari dipan, berwudlu dan mengerjakan sholat Isya’ dengan berjama’ah. Beliau berpesan kepada orang-orang agar memperbanyak dzikir dan do’a pada malam itu. Beliau berkata,”yang ada di sekelilingku ini pada hari ini hendaklah menjadi orang-orang yang dapat membedakan antara perbuatan setan dan perbuatan malaikat Allah”.


Pada pukul 24.00 beliau pingsan dan sangat gelisah, dokter segera dipanggil dan obat pun segera diberikan, kata-kata Allahu Akbar terus keluar dari mulutnya ketika malam telah menjelang pagi, beliau mencari putranya Maulana Muhammad Yusuf dan Maulana Ikromul Hasan ketika dipertemukan beliau berkata,” kemarilah kalian, aku ingin memeluk, tidak ada lagi waktu setelah ini, sesungguhnya aku akan pergi”. Akhirnya Maulana menghembuskan nafas terakhirnya, beliau pulang ke rahmatullah sebelum adzan Shubuh. Seorang pengembara yang amat lelah yang mungkin tidak pernah tidur dengan tenang, kini sampai ke tempat tujuannya. “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas dan di ridhai-Nya. Maka masuklah kamu kedalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku” (Al-Fajr, 127-128)[10].

Beliau tidak banyak meninggalkan karya-karya tulisan tentang kerisauannya akan keadaan umat. Buah pikiran beliau dituang dalam lembar-lembar kertas surat yang di himpun oleh Maulana Manzoor Nu’mani dengan judul Aur Un Ki Deeni Dawat yang ditujukan kepada para ulama dan seluruh umat Islam yang mengambil usaha dakwah ini. Karya beliau yang paling nyata adalah bahwa beliau telah meninggalkan kerisuaan dan fikir atas umat Islam hari ini serta metode kerja dakwahnya yang atas ijin Allah SWT telah menyebar ke seluruh pelosok dunia. Orang-orang yang mengetahui keadaan umat, Insya Allah akan mengambil jalan dakwah ini sebagai penawar dan obat hatinya, dan akan menjadi sebab hadirnya hidayah bagi dirinya dan orang lain.

Prinsip dan Usaha Membangun Tradisi Dakwah

Dakwah merupakan masalah yang paling penting dalam mengembalikan kejayaan umat Islam. Kesan dakwah pada saat ini tidaklah sepenting yang digariskan, dan seakan sudah tidak ada lagi dalam pikiran orang-orang Islam yang hidup pada zaman ini. Orang-orang Islam mungkin lupa bahwa risalah kenabian dan kerasulan telah ditutup oleh Allah SWT. Sementara agama Islam yang menjadi jalan keselamatan harus sampai kepada generasi terakhir umat manusia yang tidak seorangpun mengetahui kapan berakhirnya. Sering diungkapkan dalam riwayat-riwayat tentang penyakit umat-umat nabi terdahulu yang pada saat ini dapat kita lihat sendiri. Maka menjadi tugas umat Islam sebagai pewaris tugas kenabian untuk mendakwahkan agama Allah SWT hingga generasi terakhir dari peradaban manusia.

Dalam pandangan Maulana Muhammad Ilyas dakwah merupakan kewajiban umat Nabi Muhammad saw. Pada prinsipnya setiap orang yang mengaku mengikuti ajaran Nabi Muhammad tentulah memiliki kewajiban mendakwahkan ajarannya, yaitu agar selalu taat kepada Allah dengan cara yang telah dicontohkan Rasulullah. Menjadikan dakwah sebagai maksud hidup untuk mencapai puncak pengorbanan merupakan tujuan yang harus dicapai setiap individu pendakwah yang mengerti kondisi umat Islam saat ini. Sebagaimana halnya para sahabat nabi yang dalam riwayat banyak dikisahkan tentang pengorbanan mereka terhadap agama Allah SWT, sehingga Allah memberikan kemulian dan kesempurnaan amal agama dan kehidupan yang tidak hanya berdimensi ibadah semata melainkan mencakup semua bidang kehidupan berupa politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.

Pada awal perkembangannya yang sedemikian terbatas, Islam mampu menguasai belahan dunia pada saat itu dengan menundukkan Romawi dan Persi serta menyebarluaskan ilmu pengetahuan ke seluruh belahan dunia. Hal ini merupakan bukti tentang besar dan megahnya Islam dengan generasi yang berpegang teguh pada ajarannya. Hal inilah yang dikehendaki Maulana agar dapat terwujud kembali di kalangan umat Islam. Maulana menghabiskan masa hidupnya untuk berdakwah, mengajarkan prinsip dakwah yang hakiki yakni bahwa setiap diri yang mengaku sebagai umat Islam mempunyai kewajiban dakwah, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.

Dalam salah satu suratnya yang ditujukan pada Syaikh Muhammad Zakariya, beliau menulis:

Aku ingin agar pikiran, hari, kekuatan dan waktuku hanya aku gunakan demi cita-citaku ini saja. Bagaimana aku dapat bekerja selain dari kerja dakwah dan tabligh, sedangkan aku melihat ruh Nabi saw bersedih akibat perilaku buruk umatnya, lemah agama dan aqidah, merosot dan hina serta tidak adanya kejayaan bahkan telah lama digilas kekufuran[11].

Kerisauan yang mendalam akan keadaan umat inilah yang menyebabkan beliau berkeinginan kuat untuk terus berdakwah mengajak orang taat kepada Allah dan menyampaikan kebesaran Allah dengan manifestasi menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Melalui segala macam usaha yang dilakukan oleh beliau dengan pikiran dan kerisauan akhirnya terbentuklah jama’ah-jama’ah yang berkeinginan mendakwahkan kembali ajaran Nabi Muhammad saw kepada umatnya.

Membebankan kewajiban bertabligh (amar ma’ruf nahi munkar) semata-mata pada kalangan ulama adalah sebagai tanda adanya kebodohan pada diri kita. Tugas ulama adalah mengajarkan ilmu dan menunjukkan jalan yang benar akan pemahaman terhadap agama. Sedangkan memerintahkan berbuat kebajikan di antara khalayak dan mengusahakan supaya mereka menuju jalan yang benar adalah tanggung jawab semua orang Islam[12]. Sementara Dr. Sayyid Muhammad Nuh dalam tulisannya menegaskan:

Laju perjalanan umat Islam saat ini jauh tertinggal di belakang, setelah sebelumnya berada di barisan paling depan. Banyak sebab yang menjadikan kaum muslimin dalam kondisi seperti ini, di antara sebab terpenting adalah ditinggalkannya kewajiban dakwah, amar ma’ruf nahi munkar dan jihad fi sabilillah. Semua ini berangkat dari kesalahan persepsi umat dalam memandang kewajiban ini. Masih banyak yang memahami bahwa dakwah adalah kewajiban ulama saja, terbatas dalam bentuk ceramah, khutbah dan mau’idzhoh saja. Sementara itu, sebagian dari mereka ada yang memahami dakwah ini merupakan kewajiban yang berlaku atas setiap individu muslim, namun mereka melakukannya tanpa disertai pemahan yang baik terhadap manhaj dakwah nabawiyah dan rambu-rambu Al-Qur’an[13].

Jauh sebelum itu Maulana Muhammad Ilyas telah memikirkan keadaan ini, sehingga keinginannya yang telah bersatu dengan kerisauannya akan kondisi umat Islam yang dilihatnya, membuatnya mencurahkan hidupnya untuk kerja dakwah. Bahkan Maulana Muhammad Ilyas mulai membangun tradisi dakwah yang ia mulai dengan membentuk jama’ah-jama’ah dakwah yang dikirim ke tempat-tempat tertentu, bahkan dipimpin langsung oleh beliau. Dengan tenaga dan kerisauan yang ada beliau berusaha mengenalkan kewajiban dakwah pada umat Islam dan membangun tradisi tersebut agar semua dapat melaksanakan jalan dakwah ini.

Membangun tradisi dakwah diantara kondisi umat yang jauh dari agama, seperti di Mewat tidaklah semudah yang dibayangkan. Dalam keadaan yang penuh dengan kesesatan dan kejahilan masyarakat, Maulana Muhammad Ilyas terpanggil untuk mengajak mereka kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Terlebih lagi masyarakat yang masih kuat memegang syariat agama. Beliau sangat menyadari bahwa Rasulullah bukanlah orang yang mementingkan diri sendiri, beliau selalu memikirkan umatnya, merisaukan keadaan umatnya di kemudian hari. Sehingga dalam riwayat di beritakan bahwa ketika ajal beliau datang, dengan terbata-bata masih menyebut umatnya. Pikiran itulah yang selalu muncul dalam benak Maulana, bahwa dakwah hari ini adalah bagaimana mengajak umat kembali kepada jalan Allah dan Rasulnya.

Berdasarkan pengalaman dan pemikiran yang panjang, Maulana melihat bahwa para petani Mewat yang miskin tidak mungkin dapat meluangkan waktunya untuk belajar agama, sedangkan mereka masih berada di tengah-tengah lingkungan dengan segala kesibukannya. Bahkan dalam jangka waktu yang pendek yang dapat mereka berikan itu, tidak dapat diharapkan agar mereka dapat memperoleh kesan yang dalam dari ajaran-ajaran agama yang telah mereka peroleh, serta memiliki semangat agama sebagaimana yang diharapkan yang dapat mengubah cara hidup mereka. Sesungguhnya tidak mungkin meminta mereka semuanya untuk ke madrasah. Namun juga tidak tepat berangan-angan bahwa hanya dengan sekedar nasihat dan ceramah akan mengubah kehidupan mereka dari cara-cara jahiliyah kepada cara-cara Islam, baik dalam perangai, tradisi, maupun pola pikir[14].

Peran Maulana Muhammad Ilyas dalam menggerakkan masyarakat Mewat yang jahiliyah itu menyebabkan tumbuhnya suasana agama yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Suasana agama inilah yang diperlukan guna menstimulasi berkembangnya masyarakat yang Islami yang mengikuti kehidupan rasul dan para sahabat. Jama’ah-jama’ah dari masyarakat pun dibentuk untuk dikirim ke beberapa tempat agar dapat memperbaiki diri dalam suasana agama, dengan perbekalan seadanya dan semangat untuk menyebarkan dan mensuasanakan agama.

Datangnya Ramadhan dan cahayanya telah menyinari hati manusia, Maulana Ilyas pun meminta para sahabatnya agar menyiapkan jama’ah untuk dikirim ke Kandhla. Padahal mereka tahu bahwa Kandhla merupakan pusat ilmu dan banyak terdapat rohaniawan. Tentu saja mereka berkeberatan untuk menyampaikan seruan agama tersebut. Apalagi jama’ah itu adalah orang-orang yang bodoh, sungguh ini merupakan suatu yang aneh. Namun akhirnya terbentuklah jama’ah yang terdiri dari sepuluh orang Mewat yang dipimpin oleh Hafidzh Maqbul Hasan. Jama’ah ini bertolak dari Delhi menuju ke Kandhla setelah hari raya. Jama’ah mendapatkan sambutan yang menyenangkan[15].


Jama’ah pertama yang dikirim menyebabkan bertambahnya semangat beliau dalam membangun tradisi dakwah di kalangan masyarakat. Daerah-daerah lain pun mulai dipikirkannya. Gerak jama’ah sangat penting artinya bagi upaya mengubah pola hidup masyarakat. Bagaimanapun keadaannya, beliau tetap berharap dapat mengirimkan jama’ah-jama’ah serupa ke berbagai tempat lainnya. Jama’ah kedua dikirim ke Raipur, kemudian mengadakan ijtima’ (berkumpul bersama) di Chatora hingga terbentuk jama’ah lagi hingga dikirim ke Sonepar, Panipat, dan daerah sekitarnya. Begitulah perkembangan yang terjadi di daerah Mewat dan sekitarnya.

Beliau sepenuhnya meyakini bahwa kebodohan, kelalaian serta hilangnya semangat agama dan jiwa keislaman itulah yang menjadi sumber kerusakan. Adapun satu-satunya jalan keluar adalah membujuk orang-orang Mewat supaya keluar (dari kampung halamannya) guna memperbaiki diri, belajar agama, dan melatih kebiasaan yang baik hingga tumbuh kesadarannya untuk lebih mencintai agama daripada dunia, dan mementingkan amal daripada mal (harta)[16]. Maulana bercita-cita mewujudkan satu generasi yang benar-benar mau berkorban untuk agama, seperti berkorbannya para sahabat dahulu. Jika sehari-hari mereka berkorban waktu, harta, dan diri mereka untuk keduniaan, maka mereka pun harus berusaha untuk berkorban dengan diri, harta dan waktu mereka untuk agama. Menjadi hal yang biasa bahwa segala sesuatu yang diperoleh melalui pengorbanan akan sangat dicintai.

Lambat laun suasana di Mewat semakin berubah. Bahkan perubahan tersebut makin tampak pada cara hidup dan tradisi mereka. Mewat menjadi tanah gembur dan subur yang apabila tanaman dakwah Islamiyah dan pengajaran hukum-hukum agama ditanamkan akan tumbuh, berkembang dan berbuah di tempat tersebut[17]. Perkembangan yang terjadi di Mewat adalah perkembangan yang mengesankan, Mewat yang pada mulanya dilingkupi jahiliyah kini telah berubah menjadi pusat dakwah dan siar agama. Usaha Maulana Muhammad Ilyas yang pertama adalah menanamkan iman dan keyakinan yang benar terhadap Allah SWT dengan cara yang telah dicontohkan Rasulullah. Kemudian beliau menyampaikan keutamaan-keutamaan beramal dan kerugian meninggalkannya serta mengajak umat Islam untuk berkorban menyisihkan diri, harta dan waktunya di jalan Allah.

Sampai akhir hayatnya beliau tetap mencurahkan perhatiannya pada usaha dakwah ini. Bahkan setelah berkembang di India, usaha dakwah ini berkembang ke seluruh dunia. Hingga saat ini negara-negara di beberapa berlahan benua telah memiliki amal jama’ah dakwah. Mereka terus bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mengajak manusia kembali kepada tugas utama sebagai hamba Allah yang sudah seharusnya mengabdi dengan segenap jiwa dan raga serta sebagai umat Nabi yang terakhir Muhammad saw yang mempunyai tugas dakwah beramar ma’ruf nahi munkar.

--------------------------------------------------------------------------------

[1]Riwayat Hidup maulana Muhammad Ilyas diambil dari buku karangan Sayyid Abul Hasan Ali-Nadwi, (1999), Riwayat Hidup Dan Usaha Dakwah Maulana Muhammad Ilyas, Yogyakarta: Ash-Shaff, hlm. 5-18

[2]lihat, H.A. Hafizh Dasuki (et al), (1993), Ensiklopedi Islam Vol. S1-1, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, hlm. 266
[3]Kutubus Sittah berarti kitab yang enam yaitu kitab-kitab hadits yang telah dijadikan standar para ulama dan kaum muslimin untuk menjadi hujjah bagi persoalan-persoalan agama diantaranya adalah Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majjah.

[4]Infiradi berasal dari kata faroda yang dalam bahasa arab berarti sendiri, yang dimaksudkan adalah beramal secara sendiri atau tidak berjama’ah

[5]Sayyid Abul Hasan Ali Nadwi, op. cit., hlm. 14

[6]Sayyid Abul Hasan Ali An-Nadwi, op. cit., hlm. 39-40

[7]Ibid, hlm. 43-44

[8]Tutus Hendrato, op. cit., hlm. 22-23

[9]Ibid, hlm. 24

[10]Sayyid Abul hasan Ali- Nadwi, op. cit., hlm. 127-128

[11]Ibid, hlm. 145

[12]Maulana Ihtisamul Hasan Kandhalawi, (1998), Keruntuhan Umat Islam Dan Cara Mengatasinya, Yogyakarta: Ash-Shaff, hlm. 23

[13]Sayyid Muhammad Nuh, (1996), Dakwah Fardiyah, Dalam Manhaj Amal Islami, Solo: Citra Islami Press, hlm. 9

[14]Sayyid Abul Hasan Ali-Nadwi, loc. cit., hlm 44

[15]Ibid, hlm. 47

[16] Sayyid Abul Hasan Ali-Nadwi, op. cit., 45-46

[17]Ibid, hlm. 51


BACK
Posted by yahya at 9.48.MD
Subscribe to: Posts (Atom)

Fatwa Para Ulama tentang Firqah “Jama’ah Tabligh”

Kita akan membawa beberapa fatwa (keputusan) para ulama tentang Firqah Tabligh, agar ummat mengerti bahwa kita menuduh mereka sesat bukan dari kita sendiri, tapi kita mengambilnya dari ucapan ulama kita yang mulia, semoga Allah mengampuni mereka yang telah wafat dan menjaga yang masih hidup. Perhatikan ucapan para ulama ini agar terbuka kekaburan yang selama ini menutupi mereka. Dan hendaklah bagi mereka yang masuk ke dalam kelompok ini segera keluar dan yang kagum segera sadar dan membenci, karena kematian itu datangnya tiba-tiba.

1. Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah

“Dari Muhammad bin Ibrahim kepada yang terhormat raja Khalid bin Su’ud.

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu. Wa ba’du:

Saya telah menerima surat Anda dengan no. 37/4/5/D di 21/1/82H. Yang berkaitan tentang permohonan untuk bekerja sama dengan kelompok yang menamakan dirinya dengan “Kulliyatud Da’wah wat Tabligh Al Islamiyyah.”

Maka saya katakan: Bahwa jama’ah ini tidak ada kebaikan padanya dan jama’ah ini adalah jama’ah yang sesat. Dan setelah membaca buku-buku yang dikirimkan, kami dapati di dalamnya berisi kesesatan dan bid’ah serta ajakan untuk beribadah kepada kubur dan kesyirikan. Perkara ini tidak boleh didiamkan. Oleh karena itu kami akan membantah kesesatan yang ada di dalamnya. Semoga Allah menolong agama-Nya dan meninggikan kalimat-Nya. Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. 29/1/82H.” (Al Qaulul Baligh hal. 29 dengan diringkas)

2. Syaikh Hummud At Tuwaijiri rahimahullah

“Adapun ucapan penanya: Apakah aku menasehatinya untuk ikut khuruj dengan orang-orang tabligh di dalam negeri ini (Saudi) atau di luar?

Maka saya jawab: Saya menasehati penanya dan yang lainnya yang ingin agamanya selamat dari noda-noda kesyirikan, ghuluw, bid’ah dan khurafat agar jangan bergabung dengan orang-orang Tabligh dan ikut khuruj bersama mereka. Apakah itu di Saudi atau di luar Saudi. Karena hukum yang paling ringan terhadap orang tabligh adalah: Mereka ahlul bid’ah, sesat dan bodoh dalam agama mereka serta pengamalannya. Maka orang-orang yang seperti ini keadaannya, tidak diragukan lagi bahwa menjauhi mereka adalah sikap yang selamat.

Sungguh sangat indah apa yang dikatakan seorang penyair:

Janganlah engkau berteman dengan teman yang bodoh.

Hati-hatilah engkau darinya.

Betapa banyak orang bodoh yang merusak seorang yang baik ketika berteman dengannya.”

(Al Qaulul Baligh, syaikh Hummud At Tuwaijiri hal. 30)
3. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah

Pertanyaan:

Di sini ada pertanyaan: Apa pendapat Anda tentang Jama’ah (firqah) Tabligh dan apakah ukuran khuruj ada terdapat dalam sunnah?

Jawab:

Pertanyaan ini adalah pertanyaan penting. Dan aku memiliki jawaban yang ringkas, serta kalimat yang benar wajib untuk dikatakan. Yang saya yakini bahwa da’wah tabligh adalah: sufi gaya baru. Da’wah ini tidak berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Khuruj yang mereka lakukan dan yang mereka batasi dengan tiga hari dan empat puluh hari, serta mereka berusaha menguatkannya dengan berbagai nash, sebenarnya tidak memiliki hubungan dengan nash secara mutlak. Sebenarnya cukup bagi kita untuk bersandar kepada salafus shalih. Penyandaran ini adalah penyandaran yang benar. Tidak boleh bagi seorang muslim untuk tidak bersandar kepadanya. Bersandar kepada para salafus sholih, -wajib diketahui hakikat ini,- bukanlah seperti bersandar kepada seseorang yang dikatakan pemilik mazhab ini atau kepada seorang syaikh yang dikatakan bahwa dia pemilik tarikat ini atau kepada seseorang yang dikatakan bahwa dia pemilik jama’ah tertentu. Berintima’ (bergabung) kepada salaf adalah berintima’ kepada sesuatu yang ‘ishmah (terpelihara dari dosa). Dan berintima’ kepada selain mereka adalah berintima’ kepada yang tidak ‘ishmah. Firqah mereka itu –cukup bagi kita dengan berintima’ kepada salaf- bahwa mereka datang membawa sebuah tata tertib khuruj untuk tabligh (menyampaikan agama), menurut mereka. Itu tidak termasuk perbuatan salaf, bahkan bukan termasuk perbuatan khalaf, karena ini baru datang di masa kita dan tidak diketahui di masa yang panjang tadi. (Sejak zaman para salaf hingga para khalaf). Kemudian yang mengherankan, mereka mengatakan bahwa mereka khuruj (keluar) untuk bertabligh, padahal mereka mengakui sendiri bahwa mereka bukan orang yang pantas untuk memikul tugas tabligh (penyampaian agama) itu. Yang melakukan tabligh (penyampaian agama) adalah para ulama, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah dengan mengutus utusan dari kalangan para sahabatnya yang terbaik yang tergolong ulama mereka dan fuqaha` mereka untuk mengajarkan Islam kepada manusia. Beliau mengirim Ali sendirian, Abu Musa sendirian, dan Mu’adz sendirian. Tidak pernah beliau mengirim para sahabatnya dalam jumlah yang besar, padahal mereka sahabat. Karena mereka tidak memiliki ilmu seperti beberapa sahabat tadi. Maka apa yang kita katakan terhadap orang yang ilmunya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sahabat yang tidak dikirim Nabi, apa lagi dibanding dengan para sahabat yang alim seperti yang kita katakan tadi?! Sedangkan mereka (Firqah Tabligh) keluar berdakwah dengan jumlah puluhan, kadang-kadang ratusan. Dan ada di antara mereka yang tidak berilmu, bahkan bukan penuntut ilmu. Mereka hanya memiliki beberapa ilmu yang dicomot dari sana sini. Adapun yang lainnya, hanya orang awam saja. Di antara hikmah orang dulu ada yang berbunyi: Sesuatu yang kosong tidak akan bisa memberi. Apa yang mereka sampaikan kepada manusia, padahal mereka mengaku (jama’ah) Tabligh?

Kita menasehati mereka di Suriah dan Amman agar duduk dan tinggal di negeri mereka dan duduk mempelajari agama, khususnya mempelajari aqidah tauhid, -yang iman seorang mukmin tidak sah walau bagaimanapun shalihnya dia, banyak shalat dan puasanya-, kecuali setelah memperbaiki aqidahnya.

Kita menasehati mereka agar tinggal di negeri mereka dan membuat halaqah ilmu di sana serta mempelajari ilmu yang bermanfaat dari para ulama sebagai ganti khurujnya mereka ke sana kemari, yang kadang-kadang mereka pergi ke negeri kufur dan sesat yang di sana banyak keharaman, yang tidak samar bagi kita semua yang itu akan memberi bekas kepada orang yang berkunjung ke sana, khususnya bagi orang yang baru sekali berangkat ke sana. Di sana mereka melihat banyak fitnah, sedangkan mereka tidak memiliki senjata untuk melidungi diri dalam bentuk ilmu untuk menegakkan hujjah kepada orang, mereka akan menghadapi, khususnya penduduk negeri itu yang mereka ahli menggunakan bahasanya, sedangkan mereka (para tabligh) tidak mengerti tentang bahasa mereka.

Dan termasuk syarat tabligh adalah hendaknya si penyampai agama mengetahui bahasa kaum itu, sebagaimana diisyaratkan oleh Rabb kita ‘Azza wa Jalla dalam Al Qur`an:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ

“Tidaklah kami mengutus seorang rasul kecuali dengan lisan kaumnya agar dia menerangkan kepada mereka.” (Ibrahim: 4)

Maka bagaimana mereka bisa menyampaikan ilmu, sedangkan mereka mengakui bahwa mereka tidak memiliki ilmu?! Dan bagaimana mereka akan menyampaikan ilmu, sedangkan mereka tidak mengerti bahasa kaum itu?! Ini sebagai jawaban untuk pertanyaan ini. (Dari kaset Al Qaulul Baligh fir Radd ‘ala Firqatit Tabligh)
4. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah

Pertanyaan:

Semoga Allah merahmati Anda, ya syaikh. Kami mendengar tentang (firqah) tabligh dan dakwah yang mereka lakukan, apakah anda membolehkan saya untuk ikut serta dengan mereka? Saya mengharap bimbingan dan nasehat dari anda. Semoga Allah memberi pahala kepada anda.

Jawab:

Siapa yang mengajak kepada Allah adalah muballigh, (sebagaimana Nabi bersabda –pent) “Sampaikan dariku walau satu ayat.” Adapun jama’ah (firqah) tabligh yang terkenal dari India itu, di dalamnya terdapat khurafat-khurafat, bid’ah-bid’ah dan kesyirikan-kesyirikan. Maka tidak boleh khuruj (keluar) bersama mereka. Kecuali kalau ada ulama yang ikut bersama mereka untuk mengajari mereka dan menyadarkan mereka, maka ini tidak mengapa. Tapi kalau untuk mendukung mereka, maka tidak boleh, karena mereka memiliki khurafat dan bid’ah. Dan orang alim yang keluar bersama mereka hendaknya menyadarkan dan mengembalikan mereka kepada jalan yang benar. (Dari kaset Al Qaulul Baligh)

Tanya:

Para penuntut ilmu menanya kepada anda dan para ulama kibar (senior) lainnya tentang: Apakah anda menyetujui kalau mereka bergabung dengan kelompok yang ada seperti Ikhwan, Tabligh, kelompok Jihad dan yang lainnya atau anda menyuruh mereka untuk belajar bersama para da’i salaf yang mengajak kepada dakwah salafiyyah?

Jawab:

Kita nasehati mereka semuanya untuk belajar bersama para thalabul ilmi lainnya dan berjalan di atas jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kita nasehati mereka semuanya agar tujuannya untuk mengikuti Al Kitab dan sunnah dan berjalan di atas jalan Ahlus sunnah wal Jama’ah. Dan hendaknya mereka menjadi ahlus sunnah atau para pengikut salafus shalih. Adapun berhizb dengan Ikhwanul Muslimin, Tablighi atau yang lainnya, maka tidak boleh. Ini keliru. Kita nasehati mereka agar menjadi satu jama’ah dan bernisbah kepada Ahlus sunnah wal jama’ah. Inilah jalan yang lurus untuk menyatukan langkah. Kalau ada berbagai nama sedangkan semuanya di atas satu jalan, dakwah salafiyyah, maka tidak mengapa, seperti yang ada di Shan’a dan yang lainnya, tapi yang penting tujuan dan jalan mereka satu. (Dari kaset Al Qaulul Baligh)
5. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Ghudayyan hafidhahullah (anggota Hai’ah Kibarul Ulama`)

Pertanyaan:

Kami berada di suatu kampung dan berdatangan kepada kami apa yang dinamakan dengan (firqah) Tabligh, apakah kami boleh ikut berjalan bersama mereka? Kami mohon penjelasannya.

Jawab:

Jangan kalian ikut berjalan bersama mereka!! Tapi berjalanlah dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!! (Dari kaset Al Qaulul Baligh)

6. Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad hafidhahullah

Pertanyaan:

Syaikh, di sana ada kelompok-kelompok bid’ah, seperti Ikhwan dan Tabligh serta yang lainnya. Apakah kelompok ini termasuk Ahlus Sunnah? Dan apa nasehat anda tentang masalah ini?

Jawab:

“Kelompok-kelompok ini… Telah diketahui bahwa yang selamat adalah yang seperti yang telah saya terangkan tadi, yaitu kalau sesuai dengan Rasulullah dan para sahabatnya, yang mana beliau berkata ketika ditanya tentang Al Firqatun Najiyah: Yang aku dan para sahabatku ada di atasnya. Firqah-firqah baru dan beraneka ragam ini, pertama kali: bid’ah. Karena lahirnya di abad 14. Sebelum abad 14 itu mereka tidak ada, masih di alam kematian. Dan dilahirkan di abad 14. Adapun manhaj yang lurus dan sirathal mustaqim, lahirnya atau asalnya adalah sejak diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka siapa yang mengikuti ini dialah yang selamat dan berhasil. Adapun yang meninggalkan berarti dia menyimpang. Firqah-firqah itu telah diketahui bahwa padanya ada kebenaran dan ada kesalahan, akan tetapi kesalahan-kesalahannya besar sekali, maka sangat dikhawatirkan.

Hendaknya mereka diberi semangat untuk mengikuti jama’ah yakni Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan yang berada di atas jalan salaf ummat ini serta yang menta’wil menurut apa yang datang dari Rasulullah bukan dengan yang datang dari si fulan dan fulan, menurut tarikat-tarikat yang ada di abad 14 H. Maka kedua kelompok yang tadi disinggung adanya hanya di abad 14 H. Mereka berpegang dan berjalan di atas jalan-jalan dan manhaj-manhaj itu. Mereka tidak berpegang dengan dalil-dalil dari Al Kitab dan Sunnah, tapi dengan pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran dan manhaj-manhaj yang baru dan bid’ah yang mereka membangun jalan dan manhaj mereka di atasnya.

Dan yang paling jelas di kalangan mereka adalah: Wala` dan Bara`. Al Wala` wal Bara` di kalangan mereka adalah bagi yang masuk ke dalam kelompok mereka, misalnya Ikhwanul Muslimin, siapa yang masuk ke dalam kelompok mereka, maka dia menjadi teman mereka dan akan mereka cintai walaupun dia dari rafidlah, dan akhirnya dia menjadi saudara dan teman mereka.

Oleh karena ini mereka mengumpulkan siapa saja, termasuk orang rafidlah yang membenci sahabat dan tidak mengambil kebenaran dari sahabat. Kalau dia masuk ke dalam kelompok mereka, jadilah dia sebagai teman dan anggota mereka. Mereka membela apa yang dia bela dan membenci apa yang dia benci.

Adapun Tabligh, pada mereka terdapat perkara-perkara mungkar. Pertama: dia adalah manhaj yang bid’ah dan berasal dari Delhi (India –red) bukan dari Mekkah atau Madinah. Tapi dari Delhi di India. Yakni seperti telah diketahui bahwa di sana penuh dengan khurafat, bid’ah dan syirik walau di sana juga banyak Ahlus Sunnah wal Jama’ah, seperti jama’ah ahlul hadits, yang mereka adalah sebaik-baik manusia di sana. Tetapi Tabligh ini keluar dari sana melalui buatan para pemimpin mereka yang ahli bid’ah dan tarekat sufi yang menyimpang dalam aqidah. Maka kelompok ini adalah kelompok bid’ah dan muhdats. Di antara mereka ada Sufi dan Asy’ari yang jelas-jelas bukan berada di atas jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dalam aqidah dan manhaj. Dan yang selamat adalah orang yang mengikuti manhaj salaf dan yang berjalan di atas jalan mereka.” (Dari kaset Al Qaulul Baligh)
7. Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafidhahullah

“Saya tidak pernah khuruj dengan mereka (Firqah tabligh), tapi saya pergi untuk suatu keperluan, yakni ke Kashmir. Setelah selesai dari pekerjaan ini aku melewati Delhi. Maka ada yang mengatakan kepadaku: Mari kita singgah ke suatu tempat untuk dikunjungi, yaitu ke markas Tabligh yaitu di Nizamuddin. Nizamuddin ini adalah masjid yang dekat dengan markas jama’ah tabligh. Di dalamnya ada lima kubur yang diberi kubah. Yakni kuburan yang disembah, bukan menyembah kepada Allah. Ini ibadah yang jelas syirik. Maka kami melewati ‘monumen’ ini. Kemudian kami singgah ke markas tabligh. Orang-orang berselisih apakah di dalamnya ada kuburan atau tidak.

Maku Abdurrab bertanya, ini orang yang saya ceritakan tadi, apakah di dalam masjid Tabligh ini ada kuburan? Yang cerdas di kalangan mereka berkata: Tidak, di sini tidak ada kuburan! Kuburan Ilyas di Mekkah atau di tempat ini atau itu yang jauh. Maka dia terus bertanya hingga ada seseorang yang menunjukkan atau mengabarkan bahwa di sana ada kuburan Ilyas dan di sebelahnya kuburan istrinya.

Kemudian al Akh Abdurrab pergi ke kedua kuburan itu dan mencari-carinya setelah ketemu, dia datang kepada kami sambil berkata: Mari, saya tunjukkan kepada kalian dua kuburannya. Maka kami melihat, ini kuburan Ilyas dan ini kuburan istrinya yang keduanya ada di dalam masjid.

Kemudian setelah itu kami pastikan bahwa di dalamnya ada empat kuburan, bukan dua kuburan saja. Kami memastikannya melalui orang-orang yang dipercaya yang telah berjalan bersama Tabligh bertahun-tahun.

Tidak akan berkumpul masjid dan kuburan (di satu tempat) dalam agama Islam. Akan tetapi, mereka ini karena kesufiannya, kebodohannya terhadap manhaj dakwah para nabi, jauh darinya dan meremehkannya, mereka menguburkan para gurunya di masjid, padahal para ulama telah mengatakan: bahwa shalat di dalam masjid yang ada kuburan atau beberapa kuburan, shalatnya tidak sah. Saya bertanya tentang hal ini kepada Syaikh Bin Bazz. Sebenarnya saya tahu tentang ini dan juga para Thalabul Ilmi bahwa shalat di dalam masjid yang ada satu kuburan atau beberapa kuburan, shalatnya tidak sah. Maka saya tanyakan kepada Syaikh Bin Bazz, agar hadirin mendengar jawabannya. Saya katakan: Apa pendapat anda, syaikh, tentang masjid yang ada kuburan di dalamnya, apakah sah shalat di dalamnya? Beliau menjawab: Tidak! Saya katakan: Di dalamnya ada banyak kuburan? Beliau mengatakan: Terlebih lagi demikian! Saya katakan: Kuburannya bukan di kiblat masjid, tapi di sebelah kiri dan kanannya? Beliau menjawab: Demikian juga, tetap tidak sah. Saya katakan kepada beliau bahwa masjid induk atau markas induk tabligh di dalamnya ada beberapa kuburan? Maka beliau menjawab: Tetap shalatnya tidak sah!

Sangat disayangkan sekali, kelompok ini bergerak di dunia, tetapi beginilah keadaannya; tidak mengajak kepada tauhid, tidak membasmi syirik dan tidak membasmi jalan-jalan menuju kesyirikan. Mereka terus berjalan dengan melewati beberapa kurun dan generasi tetap dengan dakwah seperti ini. Tidak mau berbicara tentang tauhid, memerangi kesyirikan dan tidak membolehkan bagi para pengikutnya untuk melaksanakan kewajiban ini. Ini adalah suatu hal yang telah diketahui di kalangan mereka.

Maka kita meminta kepada mereka agar kembali kepada Allah dan mempelajari manhaj dakwah para nabi, mereka juga jama’ah yang lainnya.

Mengapa demikian wahai saudara-saudara? Karena kalau ada yang berdakwah mengajak kepada shalat, orang akan berkata: Silahkan! Tidak ada yang melarang, mereka tidak akan khawatir. Akan tetapi coba kalau mengatakan: Berdo’a kepada selain Allah adalah perbuatan syirik! Membangun kuburan haram hukumnya! Menyembelih untuk selain Allah adalah syirik! Maka mereka akan marah.

Ada seorang pemuda yang berkhuthbah di suatu masjid tentang persatuan, akhlak, perekonomian, dekadensi moral, dan yang lainnya. Orang-orang semuanya, masya Allah, berkumpul dan mendengarkannya. Kita katakan kepadanya: Ya akhi… jazakallahu khairan, khuthbah anda sangat baik, tetapi orang-orang yang ada di hadapanmu ini tidak mengenal tentang tauhid, mereka terjatuh dalam kesyirikan dan bid’ah, maka terangkan kepada mereka tentang manhaj dakwah para Nabi ‘alaihimush shalatu was salam! Maka ketika dia mulai berbicara, merekapun mulai bersungguh-sungguh. Ketika dia terus berbicara, merekapun semakin jengkel. Maka ketika yang ketiga kalinya ada sekelompok orang yang ada di masjid bangkit dan memukulinya! Maka dia datang kepadaku sambil menangis. Dia berkata: Aku habis bertengkar dengan mereka, mereka memukuliku! Maka aku katakan kepadanya: Sekarang engkau telah berjalan di atas manhaj dakwah para Nabi. Kalau engkau tetapi seperti dulu bertahun-tahun, engkau tidak akan berselisih dengan seorangpun. Dari sinilah kelompok yang ada ini bergerak, mereka memerangi bagian ini. Nabi bersabda:

أَشَدُّ النَّاسِ بَلاَءً الأَنْبِيَاء ثُمَّ اْلأّمْثَل فَاْلأَمْثَل

“Seberat-berat manusia diberi cobaan adalah para Nabi, kemudian yang selanjutnya dan kemudian yang selanjutnya.”

Karena mereka menghadapi berbagai gangguan yang hanya Allah yang tahu tentang kerasnya gangguan itu ketika mereka berdakwah kepada tauhid dan membasmi kesyirikan. Dari sinilah para da’i yang mengajak kepada tauhid dan membasmi syirik malah disakiti. Kalau dakwah Ikhwan dan Tabligh disenangi manusia karena meremehkan sisi ini. Tapi kalau aku berkhuthbah di masjid seperti ini, sedikit sekali yang mau mendengarku dan menerima dakwahku, kecuali orang-orang yang dikehendaki Allah. Kalau aku berdakwah mengajak shalat, mereka akan berkata: silahkan. Tapi kalau aku berdakwah untuk bertauhid dan memerangi kesyirikan, semuanya akan lari dan merasa asing. Inilah dakwah para Nabi.

Inilah dasarnya mengapa mereka menjadi manusia yang paling banyak ganngguannya. Sekarang para salafiyyun, para da’i kepada tauhid keadaan mereka dikaburkan oleh manusia. Karena banyaknya fitnah, kebohongan-kebohongan dan tuduhan dusta yang ditujukan kepada mereka. Mengapa? Karena mereka mengajak untuk mentauhidkan Allah!

Kelompok ini tidak bisa masuk ke dalam lapangan ini, karena mereka takut kepada sisi ini. Tetapi mereka akan ditanya di hadapan Allah. Demi Allah, telah datang kepada kami seseorang atau segolongan Tabligh di Benares, di sebuah rumah yang saya tempati dengan syaikh Shalih Al Iraqi. Mereka berkata: Kami dengar kalian datang, kami sangat senang, maka kami datang mengunjungi kalian agar kalian ikut bersama kami berdakwah kepada Allah. Dan tempat kami adalah masjid ini. Maka kami juga gembira dan mendatangi masjid itu, ternyata masjid itu tempat tarikat Berelwian. Mereka adalah para penyembah berhala dan sangat keterlaluan dalam penyembahan itu.

Mereka meyakini bahwa para wali bisa mengetahui perkara yang ghaib dan mengatur alam. Mereka membolehkan untuk bernadzar, menyembelih, sujud dan ruku’ kepada kuburan. Singkat kata: mereka adalah golongan penyembah berhala. Maka Syaikh Shalih pergi dan bersama kami ada seorang penerjemah, namanya Abdul Alim, sekarang dia ada di Rabithah Al Alam Islami. Kami bawa orang ini untuk menerjemahkan ucapan syaikh. Maka syaikhpun berbicara. Setiap selesai berbicara beliau melihat kepada penerjemah agar diterjemahkan. Maka penerjemahpun akan bergerak, maka ternyata pemimpin tabligh melihat dan berkata: Tungguh, saya yang akan menerjemahkan. Maka syaikh terus berbicara, tapi tidak ada seorangpun yang menerjemahkan. Hingga ceramahnya selesai. Ketika selesai acara itu dia mengucap salam dan malah pergi. Maka kami tetapi di situ menunggu terjemah. Dia berkata: Saya ada keperluan, biar orang ini yang menerjemahkan. Maka kami shalat Isya’ sambil menunggu terjemahan ceramah itu, tapi tidak kunjung diterjemahkan. Maka saya temui lagi orang itu dan mengatakan: Ya akhi, kami datang ke tempat kalian ini bukan untuk main-main. Tapi kalian tadi meminta kepada kami untuk ikut serta bersama kalian berdakwah, maka kamipun datang menyambut ajakan kalian. Dan syaikh tadi telah berbicara. Ketika penerjemah akan menerjemah engkau malah melarangnya. Dan engkau menjanjikan akan menerjemahkannya, tapi engkau tidak lakukan sedikitpun. Maka dia berkata: Ya akhi, engkau tahu?! Masjid ini milik Khurafiyyin!! Kalau kita berbicara tentang tauhid, mereka akan mengusir kita dari masjid. Maka saya katakan: Ya akhi, apakah seperti ini dakwah para Nabi? Ya akhi, dakwah kalian sekarang menyebar di penjuru dunia. Kalian pergi ke Amerika, Iran dan Asia, kalian tidak dapati sedikitpun perlawanan selama-lamanya. Apakah seperti ini dakwah para Nabi? Semua manusia menerimanya dan menghormatinya? Dakwah para Nabi padanya ada pertempuran, darah, kesusahan-kesusahan dan lain-lain. Kalau engkau diusir dari suatu masjid, berdakwahlah di masjid lain atau di jalan-jalan atau di hotel-hotel. Katakan kalimat yang haq dan tinggalkan. Rasul saja diusir dari Mekkah karena sebab dakwah ini. Kemudian saya tanya sudah berapa lama dakwah ini berjalan? Dia berkata: Belum tiga puluh tahun. Saya katakan: Kalian telah menyebar di India, utara dan selatan. Dan engkau melihat fenomena kesyirikan di hadapanmu dan telah mati berjuta-juta orang. Sudah berapa juta orang yang mati selama itu dalam keadaan berada di atas kesesatan, kesyirikan dan bid’ah yang kalian sebarkan ini?! Dan engkau belum menerangkan hal itu kepada mereka! Apakah engkau tidak merasa kalau engkau akan ditanya di hadapan Allah karena engkau menyembunyikan kebenaran ini dan tidak menyampaikannya kepada para hamba Allah?! Diapun diam. Maka aku permisi dan keluar.

Mereka menyembunyikan kebenaran yang dinyatakan Al Qur`an. Dan mereka tidak menegakkan panji-panji tauhid dan tidak mau menyatakan peperangan kepada kesyirikan dan bid’ah. Mereka ini terkena ayat Allah:

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاَّعِنُونَ

“Sesungguhnya orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkan kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.” (Al Baqarah: 159).

Apa yang mereka dapati kalau mereka telah menyembunyikan kebenaran yang paling nyata?! Dan hal yang paling besar yang bukti-bukti itu berdiri di atasnya?! Bukti-bukti yang paling besar adalah ayat-ayat tauhid. Dakwah yang paling besar yang dilakukan para nabi dan Al Qur`an adalah tauhid. Dan yang paling jelek dan bahaya adalah syirik dan bid’ah. Al Qur`an dan Sunnah telah memeranginya. Kemudian mereka malah setuju dan bersama kesyirikan, bid’ah, dan para pendukungnya sampai mati. Berapa banyak orang yang mati di bawah panji ini dalam keadaan tidak tahu kebenaran tauhid selama itu?! Dan dalam keadaan tidak bisa membedakan antara tauhid dengan syirik?!

Kalau mereka tidak dihisab karena menyembunyikan ayat tauhid, maka siapa lagi yang dihisab?

Kita berharap kepada Allah agar menjadi orang yang menolong agama ini dan menasehati kaum muslimin. Dan agar Allah menjauhkan kita dari sifat menipu dalam agama, karena membiarkan bid’ah dan syirik adalah penipuan yang paling besar. Tidak ada penipuan yang bisa menyaingi penipuan ini. Kalau menipu manusia dalam perdagangan saja Rasulullah berlepas tangan, maka bagaimana lagi kalau menipu dalam agama? Bagaimana engkau bisa diam terhadap kesyirikan dan bid’ah?! Engkau merusak aqidah kaum muslimin dan masyarakat mereka. Kemudian engkau mengatakan: Kita semua kaum muslimin, bersaudara dan engkau tidak menerangkan mana yang haq dan mana yang batil?! Kita memohon kepada Allah agar Dia menjaga kita dari penyakit ini.” (Dari kaset Al Qaulul Baligh)

8. Syaikh Shalih bin Abdullah Al Abud hafidhahullah

Adapun tabligh… ketika Khilafah Utsmaniyyah runtuh bangkitlah firqah ini dengan pemikiran jama’ah ini, firqah tabligh. Dan mereka membuat dasar-dasar untuk para pengikutnya dengan nama “Ushulus Sittah” yang mereka dakwahkan manusia kepadanya. Dan di akhirnya mereka membai’at menurut empat macam tarekat sufi; Jistiyyah, Syahrawardiyyah, Naqsyabandiyah dan Matur… saya lupa yang keempat, yang jelas empat tarekat. Mereka dalam bidang aqidah adalah Maturidiyah atau Asy’ariyyah. Dan dalam pemahaman syahadat mereka, yaitu syahadat Laa Ilaaha Illallah dan Muhammad Rasulullah. Mereka tidak memahami maknanya kecuali bahwa: Tidak ada yang Kuasa untuk Mencipta dan Mengadakan serta Membuat kecuali Allah. Dan dalam memahami makna Muhammad Rasulullah, (mereka tidak memahaminya seperti yang kita fahami, yaitu membenarkan apa yang beliau sampaikan, mentaati apa yang beliau perintahkan, menjauhi apa yang beliau larang dan peringatkan dan Allah tidak diibadahi kecuali dengan apa yang beliau syariatkan). Pemahaman ini tidak ada di kalangan jama’ah tabligh, bahkan kadang-kadang mereka mengkultuskan individu-individu tertentu dan menyatakan mereka memiliki ‘Ishmah (tidak akan salah). Dan sampai-sampai bila para syaikhnya mati, mereka bangun di atas kuburannya bangunan-bangunan dalam masjid. Tabligh adalah firqah, tanpa perlu diragukan lagi. Karena menyelisihi firqatun Najiyah. Mereka memiliki manhaj khusus. Yang tidak ikut ke dalamnya tidak dianggap sebagai orang yang mendapat hidayah. Tabligh membagi manusia menjadi: Muhtadi (orang yang mendapat hidayah) dan manusia yang masih diharapkan mendapat hidayah (tim penggembira saja –pent). Golongan Muhtadi adalah yang telah masuk keseluruhan dalam tandhim (keorganisasian) dan firqah mereka. Dan yang non Muhtadi, tidak termasuk golongan mereka walaupun dia imam kaum muslimin. Ini dalam pemahaman mereka.

Ikhwanul Muslimin juga demikian, yang termasuk tandhim mereka adalah Ikhwanul Muslimin dan yang tidak masuk, maka bukan Ikhwanul Muslimin walaupun orang itu adalah alim dalam Islam. Cukup sikap ta’ashshub ini menjadi dalil bahwa mereka telah mengeluarkan diri-diri mereka sendiri dari jama’ah kaum muslimin. Karena jama’ah kaum muslimin tidak menganggap bahwa hidayah hanya sampai kepada mereka saja. Dan manhaj mereka adalah manhaj yang paling luas, karena mereka tidak mencap setiap orang yang tidak sefaham dengan mereka sebagai orang kafir. Tapi mereka masih mengakui bahwa mereka adalah kaum muslimin dan mengharapkan agar dia mendapat hidayah. Meskipun orang itu mengkafirkan mereka, mereka tetap tidak membalasnya dengan mengkafirkannya pula. Maka manhaj Firqatun Najiyah adalah manhaj yang paling luas dalam hal ini. Wallahu A’lam.

(Semua fatwa ini diambil dari kaset Al Qaulul Baligh ‘ala Dzammi Jama’atit Tabligh)
9. Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah

Setelah membawakan pendirian beliau terhadap Ikhwanul Muslimin beliau berkata: “Adapun Jama’ah tabligh, silakan engkau membaca apa yang dituturkan syaikh Muhammad bin Abdul Wahab Al Washshabi, ia berkata:

1. Mereka mengamalkan hadits-hadits dla’if (lemah) bahkan maudlu’ (palsu) serta Laa Ashla Lahu (tidak ada asalnya).

2. Tauhid mereka penuh dengan bid’ah, bahkan dakwah mereka berdasarkan bid’ah. Karena dakwah mereka berdasarkan Al Faqra (kefakiran) yaitu khuruj (keluar). Dan ini diharuskan di setiap bulan 3 hari, setiap tahun 40 hari dan seumur hidup 4 bulan, dan setiap pekan 2 jaulah… jaulah pertama di Masjid yang didirikan shalat padanya dan yang kedua berpindah-pindah. Di setiap hari ada 2 halaqah, halaqah pertama di masjid yang didirikan shalat padanya, yang kedua di rumah. Mereka tidak senang kepada seseorang kecuali bila dia mengikuti mereka. Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah bid’ah dalam agama yang tidak diperbolehkan Allah Ta’ala.

3. Mereka berpendapat bahwa dakwah kepada tauhid akan memecah belah ummat saja.

4. Mereka berpendapat bahwa dakwah kepada sunnah juga memecah belah ummat.

5. Pemimpin mereka berkata dengan tegas bahwa: Bid’ah yang bisa mengumpulkan manusia lebih baik daripada sunnah yang memecah belah manusia.

6. Mereka menyuruh manusia untuk tidak menuntut ilmu yang bermanfaat secara isyarat atau terang-terangan.

7. Mereka berpendapat bahwa manusia tidak bisa selamat kecuali dengan cara mereka. Dan mereka membuat permisalan dengan perahu Nabi Nuh ‘alaihis salam, siapa yang naik akan selamat dan siapa yang enggan akan hancur. Mereka berkata: “Sesungguhnya dakwah kita seperti perahu Nabi Nuh.” Ini saya dengar dengan telinga saya sendiri di Urdun (Yordania –ed) dan Yaman.

8. Mereka tidak menaruh perhatian terhadap tauhid Uluhiyyah dan Asma` was Sifat.

9. Mereka tidak mau menuntut ilmu dan berpendapat bahwa waktu yang digunakan untuk itu hanya sia-sia belaka.” (Dinukil dari kutaib Hadzihi Da’watuna wa ‘Aqidatuna, Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi’i hafidhahullah hal. 15-17)

Sumber: Buletin Islamy Al Manhaj edisi VI/1419 H/1998 M

(Dikutip dari http://salafy.iwebland.com/baca.php?id=6, judul asli Fatwa-fatwa Para Ulama tentang Firqah Tabligh, Buletin Islamy Al Manhaj edisi VI/1419 H/1998 M).

Sumber:

http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=970

Penerbit Terbesar Fazaaile- Amal(Tableeeghi Nisaab) Bertaubat.

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengaseh Dan Maha Penyayang

Penerbit Terbesar Fazaaile- Amal(Tableeeghi Nisaab) Bertaubat.


Laporan khas oleh
Sajid A Kayum

29 Dec ‘02
Sajid@ahya.org

serta
Temuduga Istimewa
dengan.Sdr. Mohammed Anas
(Penerbit terbesar untuk Fazaail-e-Amaal) oleh:
Sdr. Muhammed Aqil

Mohammedaqil@hotmail.com
Rakaman audio bagi temuduga ini
Boleh didapati di laman web
www.ahya.org


Pada masa kini, di mana terdapat ta’sub kelompok, ta’sub kepada mazhab

masing-masing dan fahaman berparti-parti telah menjadi-jadi, maka adalah

menjadi suatu rahmat yang luarbiasa bagi seseorang individu mencari

petunjuk dan menerima kebenaran. Khususnya, ia melibatkan sumber mata

pencarian dan kehormatan yang diperolehi dengan susah payah menjadi

taruhan. Salah seorang yang bertuah itu ialah saudara Mohammad Anas,

pemilik Idara Ishaat-E-Diniyat – perusahaan penerbitan yang

menerbitkan Fazaail Aamaal (juga dikenali sebagai Tablighi Nisaab)

dalam empat bahasa dan banyak kitab-kitab Deobandis lainnya.


Fazaail Aamaal yang dikarang oleh Maulana Zakariya Al Khandahlawi adalah kitab yang digunakan oleh Jamaah Tabligh untuk menyebar dakwahnya. Itulah satu-satunya kitab yang dibolehkan untuk dibaca pada saat mereka Jamaah Tabligh berkumpul. Mereka sangat digalakkan untuk membaca kitab ini secara teratur sehingga kitab ini dibaca oleh mereka lima kali sehari setelah setiap solat. Di- dalam kitab ini banyak terkandung kepercayaan palsu dan cerita-cerita dusta yang telah mencemar Aqidah umat selama setengah abad.

Sila rujuk kepada artikle,” Apakah ada cerita-cerita yang tidak berasas di dalam Fazaail-Aamaal” yang merosakkan Aqidah ” di www.ahya.org

Saudara Mohammad Ana , penerbit Fadilah Amal, sesudah mengenal pasti kesalahan-kesalahan terdapat di dalam Fadilah Amal, telah secara terbuka mengumumkan berlepas diri dari kitab ini dan juga dari golongan Tabligh-Deobandi yang menyebarkan ajaran yang sesat. Dia secara ikhlas telah menerima cara beragama berdasarkan Al Qur’an and Sunnah, yang merupakan cara para Ahli Hadith – Dan segala puji hanyalah bagi Allah.

Kegelisahan Golongan Deobandi Yang Nampak Dalam Beberapa Tahun Kebelakangan Ini

Dalam beberapa tahun terakhir terlihat kegelisahan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam lingkaran golongan yang berasal dari Deobandi India disebabkan amat ramai orang telah meninggalkan taqlid buta terhadap individu dan taqlid terhadap kelompok. Mereka menerima ajaran murni bersumberkan dari Al Qur’an dan Sunnah. Pada masa-masa yang lepas, Deobandis dengan secara mudah melemahkan dan meremehkan cara para A
-hlul Hadeeth sebagai suatu cara yang tidak wujud dari segi praktiknya .Sekarang mereka sudah menyedari bahwa ahlul Hadeeth adalah suatu kekuatan yang perlu diperhitungkan. Dasar-dasar taqlid buta terhadap para nenek moyang dan sikap fanatik kepada mazhab yang mendasari golongan Deobandi sudah semakin lemah.

Deobandisme – Antara Dakwaan Dan Kebenaran

Golongan Deobandis mengisytiharkan diri mereka sebagai pendokong tauhid, pengkaji agama, dan reformasi dan pengikut imam yang sah (Imam Abu Hanifah) dan menggambarkan diri mereka sebagai kelompok pemikiran yang sah dari Ahlus-Sunnah yang jika pun berbeda, ia hanya berlaku dalam masaalah Ijtihad(furuk). Pada hakikatnya, mereka telah melakukan jenayah yang besar terhadap agama Islam dengan menyebarkan kepercayaan syirik dan bida’ah, dan melakukan kesalahan yang besar membela kekeliruan nenek moyang mereka yang jelas menyimpang dan membuat tahreef yaitu penyimpangan untuk menyokong madzhab mereka. Mereka membantu menyebarkan kebodohan dengan menyusun tenaga sukarela yang terdiri dari orang-orang yang tidak berilmu dan tidah bertauliah dengan nama ’Jemaah Tabligh’ dan membekalkan mereka buku ”Fazaail- Aamaal” – yang ia sendiri adalah kumpulan cerita-cerita yang tidak berasas yang mengajak kearah bida’ah kesufian.

Golongan Deobandis dan Jamaah Tabligh telah berjaya menyembunyikan pahaman sesat mereka di dunia Arab dan di negara Barat. Dalam masa yang sama mereka secara terbuka berdakwah kepada kesesatan mereka di negara-negara di mana mereka mempunyai pengikut yang ramai seperti di India, Pakistan dan lain-lainnya.

Hal ini dapat kita saksikan dengan paling jelas di negara Arab Saudi yang merupakan pusat kajian agama dan tempat tinggal kebanyakan pencinta-pencinta agama yang banyak infak secara sukarela menolong kaum Muslimin di seluruh dunia. Deobandis memanfaatkan sepenuhnya niat baik mereka dan menyebarkan dakwah mereka secara rahsia sehinggalah terdapat rakan-rakan mereka telah dilantik dalam banyak jawatan-jawatan kementerian. Contoh yang paling ketara adalah Maulana Makki yang terkenal sebagai seorang Deobandi yang memberi kuliah di Tanah Haram Makkah hingga ke saat ini. Kompleks Percetakan Al Qur’an Raja Fahd juga menerbitkan Tafsir Deobandi yang dianggap sebagai Tafsir resmi dalam bahasa Urdu.

[Tafsir ini disebut Tafsir Usmani dimana terjemahan ayatnya dilakukan oleh Maulana Mahmood Hasan Deobandi dan ulasannya oleh Maulana Shabbir Ahmed Usmani].

Dalam bahagian pengenalan Tafsir ini mengandungi rujukan kepada keyakinan ajaran Wahdatul Wujud (Kesatuan dalam kejadian) meskipun tidak disebutnya dengan jelas. Bahkan ulama-ulama besar dan para mufti Negara Saudi terpedaya serta mempunyai pandangan yang baik terhadap Deobandis dan Tabligh.

Ulama menyangkal Jamaah Tabligh

Tetapi Alhamdulillah kesesatan Jamaah Tabligh menjadi nyata dalam pandangan beberapa ulama Salafi Arab dan mereka menyangkal kelompok tersebut dalam tulisan-tulisan mereka. Shaikh Taqiyyudin al-Hilaali (terkenal kerana terjemahan Al Qur’an yang mulia diterbitkan oleh Penerbitan Dar-us-Salam) menulis risalah kecil dengan nama, ”Al-Siraaj Al-Muneer fi Tambeeh Jama’ah At-Tableegh alaa Akhtaa’ihum” dan Shaikh di-Tuwaijiri menyusun kitab yang luar biasa, ”Al-Qawl al-Baleegh”. Kemudian Shaikh Taalib ur-Rehmaan seorang ulama yang terkenal dengan perdebatannya dengan orang Bida’ah menulis kitab, ”Ad-Deobandiyyah” dalam bahasa Arab mendedahkan hakikat Deobandis dengan lebih lanjut. Syeikh ini mempunyai satu lagi sangkalan atas Jamaah Tabligh dalam bahasa Arab yang sudah diterbitkan akhir-akhir ini. Selain dari ini ada banyak usaha lain yang telah dilakukan oleh ulama dan semoga Allah menerima semua usaha mereka yang ikhlas.

Di benua India, ramai para ulama telah membangkitkan kesedaran orang awam mengenai Jamaah Tabligh setelah berbagai usaha menasehati mereka telah menemui kegagalan. Malah beberapa masjid Ahlul Hadith membuka pintu mereka kepada Jamaah Tabligh bertujuan untuk berkerjasama dalam hal kebajikan dan kebaikan kerana secara lahiriahnya Jamaah Tabligh mendakwa bahawa mereka tidak mempunyai agenda lain kecuali memanggil orang awam ke masjid untuk sholat. Para Tablighi telah dinasehati berkali-kali untuk meneruskankan dakwah mereka dengan menggantikan buku Fazaail Aamaal dengan kitab-kitab tafsir dan hadis yang sahih, tetapi mereka menolak permintaan tersebut. (Ini adalah kerana bukanlah niat pengasas dan ketua-ketua Jamaah ini untuk menyelamatkan orang awam dari syirik, taqlid buta dan bid’ah tetapi adalah untuk menyebarkan ajaran sheikh-sheikh Deobandi seperti Moulana Ashraf Alee Thanwi dan lain-lan .

Lihat buku: ”The Deobandis and the Jamaat Tableegh ” by Sajid Abdul Kayum di laman web; www. ahya. org )

Dakwah JamaahTabligh

Di daerah di mana terdapat kejahilan umum mengenai Aqidah yang benar dan mempunyai tradisi yang kuat untuk menyerahkan semua urusan agama ke tangan moulana tertentu, Jamaah Tabligh berbicara dari segi kedudukan yang kuat dan secara terbuka berdakwah kepada pandangan yang sesat. Para Tablighi mengubah arti ayat-ayat Al Quran dan menyampaikannya kepada orang awam untuk menipu mereka dalam keyakinan bahawa ini adalah qadar Allah bahwa semua orang Muslim sejati wajib mengikuti peraturan ”Jamaah Tabligh” dan diharapkan untuk tidak ragu-ragu mengikuti cara mereka keluar khuruj berdakwah.

Jamaah Tabligh merasa bangga dalam kejahilan malah menyoal individu jahil yang lain seperti mereka, ”Di sekolah atau universiti yang manakah para Sahabat pergi?” Mereka berdusta atas Allah dan RasulNya dan mereka membenarkan perkataan dusta itu kerana hanya bermaksud untuk menganjurkan perbuatan baik. Mereka sering memetik Qur’an sebagai Hadis dan sebaliknya Hadis sebagai Qur’an. Lebih parah lagi, mereka memetik perkataan nenek moyang mereka dan cerita-cerita dongeng serta menganggapnya perkataan Rasulullah (sallallahu alaihi wa sallam). Pada kebiasaanya, mereka menyebut ayat-ayat Al Qur’an, potongan-potongan Hadis, cerita-cerita dongeng,ucapan-ucapan nenek moyang mereka dengan tidak membezakan antara satu dengan yang lainnya, memberi gambaran kepada pendengar yang jahil bahawa semua ini seolah-olah berasal dari Allah untuk membimbing manusia.

Banyak ulama ahlul Hadeeth telah menimbulkan kesedaran mengenai Jamaah Tabligh melalui tulisan-tulisan dan ceramah-ceramah, khususnya Shaikh Meraj Rabbani, Shaikh Ataa Allah Daerwi dan lain-lainnya. Dan mereka yang sudah meninggalkan Jamaah Tabligh telah mendedahkan kesesatan Jamaah itu dengan lebih jelas.Akibatnya ramai orang telah menerima cara Al-Qur’an dan Sunnah. Ini merupakan suatu lagi tamparan hebat kepada golongan Deobandis.

Juga perlu diperhatikan bahwa mereka yang menerima penunjuk adalah mereka yang terpelajar dan individu yang celik yang mempunyai kemampuan untuk menyelidik, memahami dan mampu membezakan antara fakta dan palsu.

Kebanyakan orang yang sudah meninggalkan Jama’ah ini adalah mereka yang telah berpindah ke negara lain di mana golong Tabligh tidak mempunyai pengaruh yang kuat . Oleh itu mereka mempunyai kesempatan untuk mempelajari Al Qur’an dan Sunnah. Di suasana yang terdapat di benua India, para Tabligh tidak memberi kesempatan bagi orang awam untuk membaca Al Qur’an dan Sunnah atau mendengar dari penceramah selain dari mereka. Oleh itulah seperti yang saya katakan pada permulaan artikel ini bahawa, ” Pada masa kini, dimana terdapat ta’asub kepada kelompok, ta’asub kepada mazhab masing-masing dan fahaman berparti-parti sedang menjadi-jadi, maka adalah menjadi suatu rahmat yang luarbiasa bagi seorang individu mencari petunjuk dan menerima kebenaran...” dan hanya orang yang sudah merasakan suasana itu benar-benar boleh memahami kepentingan hal ini.

THE DEOBANDI REACTION

The Deobandis have finally realized that they cannot combat the Dawah of the Ahlul-Hadeeth, by merely abusing them or undermining them and that they would have to reply with proofs, quotes and references just like the Ahlul-hadeeth refuted them with proofs, quotes and references from the Qur'aan and the Sunnah. The Deobandis
therefore, organized a huge nation-wide conference called, 'Tahaffuz-e-Sunnat' in India.
This was repeated in a number of other countries. They also published a number of booklets on the subject and each of the doubts in those books has been replied to either in writing or on tape, alhamdulillah. And we will publish them on our website,www.ahya.org insha'Allah.

Deobandi akhirnya menyedari yang mereka tidak boleh menentang Da’wah Ahli Hadis, dengan hanya mencela mereka atau melemahkan mereka dan mereka perlu membantah dengan bukti, perkataan-perkataan dan rujukan dari Qur’aan dan Sunnah sepertimana Ahli Hadis membantah mereka dengan bukti, perkataan dan rujukan dari Qur’aan dan Sunnah. Deobandi, dengan ini, menyusun persidangan yang besar di namakan,’Tahaffuz-e-Sunnat’ di India. Persidangan seperti ini di adakan juga di kebanyakan negara-negara lain. Mereka juga mencetak banyak risalah-risalah mengenai perkara tersebut dan syubhat-syubhat ini telah di jawab samaada melalui tulisan atau kaset, alhamdulillah. Dan kami akan memasukkannya kedalam laman web kami, www.ahya.org InsyaAllah

The result of these conferences was that many people were introduced to the Ahlul-Hadeeth and began reading books of Ahlul-Hadeeth scholars either out of curiosity or to refute them and alhamdulillah this became a means for people to come closer to the truth. The Deobandis, therefore, shot themselves in the foot because the way of seeking knowledge, analyzing references and sound reasoning can only lead to the truth.

>Hasil dari persidangan ini, ramai daripada orang awam telah di perkenalkan kepada Ahli Hadis dan mereka mula membaca buku-buku ulama’ Ahli Hadis, samada kerana mereka ingin tahu atau ingin membantah dan alhamdulillah ini menjadi perantara kepada mereka untuk mendekati kebenaran. Para Deobandi, dengan ini, telah menikam diri sendiri kerana cara mendapat ilmu, menganalisa rujukan-rujuan mengguna bukti-bukti yang nyata hanya akan membawa kepada kebenaran.

Muhammad Anas– Pemilik Idara Ishaat e Diniyaat

Kami memohon kepada Allah, Yang Maha Mulia, agar menjaga Sdr. Mohammad Anas tetap berdiri atas kebenaran yang Dia telah tunjukkan kepadanya. Wawancara Sdr Muhammad Anas telah dirakam oleh saudara kita Muhammad Aqil dari Jeddah. Sdr. Aqil telah banyak berusaha dalam bidang dakwah di internet dan menjalankan laman Hadis e kumpulan.

Dalam wawancara ini Muhammad Anas memberi penjelasan mengenai bagaimana dia mengakui penyimpangan dan kesalahan terdapat dalam kitab Fazaail-Aamaal dan kitab-kitab Deobandi yang lain. Dia juga menjelaskan mengenai kesukaran dalam perjuangannya untuk mencari dan mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah. Saudara Anas secara khusus mengatakan bahwa dia menemukan laman web kami www.ahlehadees.com dan kaset rakaman para ulama yang ada dalam laman web tersebut yang banyak membantunya .

Rasulullah (sallallahu alaihi wa sallam) mengatakan,” Jika Allah memberikan petunjuk kepada seseorang melalui engkau, maka itu lebih baik bagimu daripada mempunyai unta merah.” Kami memohon kepada Allah agar menerima usaha semua saudara-saudara yang turut menyumbang dan mengambil bahagian dalam perkembangan laman web ini, sama ada mereka dari India, Arab Saudi, Emirates atau Kuwait.


Petikan-Petikan Dari Wawancara

Saudara Muhammad Anas berkata: Ketika saya ingin mengetahui tentang masaalah hukum seharian, saya merujuk kepada kitab fiqah Hanafi, kerana itulah suasana tempat di -mana saya dibesarkan. Jadi ketika kami merujuk kepada kitab-kitab tersebut tidak ada rujukan yang ditemukan di dalamnya hanya perkataan para ulama, maka ini dari pandangan saya seolah-olah dia mengatakan sesuatu dari dirinya sendiri dan saya tidak boleh menerimanya dengan spenuhnya. Maka saya mulai mengadakan penelitian sebab aturan hukum tersebut harus memiliki rujukan pada hadis yang mendasarinya. Kemudian saya mencari kitab-kitab dan membacanya, tetapi saya telah mendapati hanya perbedaan besar antara hukum yang ada pada madzhab Hanafi dengan Al-Qur’an dan Sunnah.

Catatan: Di sini maslak Hanafi dalam bahasa umum digunakan untuk merujuk kepada cara/jalan (termasuk taqlid buta) para pengikut madzhab Hanafi, kesetiaan kepada golongan Deobandi dan ulamanya, dan kepada Maturidisme dalam hal keyakinan (keimanan).

...”Saya menghadapi beberapa kesulitan dan saya memohon kepada Allah untuk memberi saya ketabahan.” Kerana saya telah memulai mengikut jalan ini (Kitab dan Sunnah) dan kami tinggal dalam masyarakat yang mengikuti maslak (Deobandi), setiap orang memandang saya dengan kesangsianaan (atau dengan membenci) seolah-olah saya sudah melakukan jenayah yang besar. Saya hanya cuba menurut Al Qur’an dan Sunnah dan menurut perintahnya. Saudara mara saya dan mereka yang rapat kepada saya telah memalingkan muka mereka dari saya, kecuali beberapa orang sahaja. Sekalipun saya cuba bertemu dengan mereka, mereka berbicara kepada saya dengan cara yang pelik dan ketika saya menikahkan anak lelaki saya menurut Al Qur’an dan Sunnah pada Februari dan tidak mengatur perarakan perkahwinan dan upcara-upacara lain, keluarga saya masih marah kepada saya. Saya hanya menghantar sebuah kereta supaya anak menantu perempuan saya boleh datang ke rumah.”

Dia mengatakan bahawa dia mendengar beberapa CD yang membicarakan tentang Hijaab. ” Ketika saya mendengar nya , airmata menitik dari mata saya dan saya mulai merenungi apa yang sudah kami lakukan hingga saat ini, kita sudah lama hidup tetapi kami belum dapat melaksanakan apa-apa.” Sesudah ini al-hamdulillah kami mulai melaksanakan Hijaab yang sebenarnya di rumah sebagaimana ia seharusnya dilaksanakan menuratu syariat, iaitu Hijaab dilakukan terhadap saudara laki-laki suami.

Waktu saudara Aqil bertanya saudara Muhammad Anas mengenai sumber-sumber yang membantunya menempuh jalan Al Qur’an dan Sunnah, dia menyebutkan laman web kami http://www.ahlehadees.com dan nama-nama empat ulama, Shaikh Ataa Allah Daerwi, Shaikh Safiur-Rehman Mubarakpuri, Shaikh Meraaj Rabbani (Hafizahumullah) dan Shaikh Badiuddeen Rashidi (Rahimahumullah). Dia mengatakan, ”Saya mendengar kaset rakaman mereka dan sangat menyukainya. ”Apapun yang mereka katakan, mereka katakan dengan merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah.

Ketika ditanya apakah dia terlibat dalam menyebarkan dakwah Qur’an dan Sunnah, dia berkata, ” Saya ingin melakukan banyak perkara, agar kesalahan-kesalahan yang telah tersebar di dalam masyarakat akan berakhir. ” Untuk memulainya, saya sudah menyiapkan satu senarai buku-buku yang dulu biasa saya jual di kedaibuku (dia menyebut berbagai buku). Salah satu buku yang dulu biasa saya simpan adalah Aamaal Qur’ani (pengubatan dari Al Qur’an) sambil percaya bahawa ia adalah cara pengubatan melalui Al Qur’an dan isinya tidak ada mengandungi pernyataan (yang salah), tetapi kemudian saya mendengar salah satu kuliah Shaikh Meraaj Rabbani (dengan petikan dari Aamaal Qur’ani) dan saya memeriksa salinan yang saya memiliki, saya merasa malu dan sangat kecewa dan menyuruh kakitangan kedai untuk tidak menjualnya sama sekali. Sesudah itu, saya berhenti menjual banyak kitab-kitab lain mengenai Sufi yang penuh dengan Syirik dan Bid’ah.”

Catatan: Disebutkan dalam Aamaal-e-Qur’ani, ms.134 oleh Maulana Ashraf Ali Thanwi [diterbitkan oleh Jasim Book Depot, Urdu Bazaar, Jama Masjid, Delhi] bahawa jika seorang wanita mempunyai darah haid yang berlebihan, maka ayat (surah al-Imran : 3:144) sebaiknya ditulis pada tiga lembar kertas yang berbeda, yang satu diikat di kanannya dan yang lain diikat di kirinya dan lembaran kertas ketiga yang berisi ayat al Qur’an digantungkan di bawah pusatnya. Ayat al Qur’an ini adalah, ” Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu menjadi murtad ( sebagai kaafir)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi ganjaran kepada orang orang yang bersyukur. ” [surah Al-Imran : 3:144].

Read the Article,"Excerpts from the Shameles writing of Moulana Ashraf Ali Thanwi - A Selection of Quotes from Aamaal-e-Quraani" www.ahya.org

>Baca Artikel, ”Petikan-petikan dari tulisan yang memalukan oleh Moulana Ashraf Ali Thanwi - P

Sdr. Aqil : Apakah kesulitan yang anda hadapi sesudah mengikuti jalan Ahlul Hadeeth?

Sdr. Muhammad Anas menjawah, ” Ketika saya mulai menyimpan kitab-kitab yang sesuai dengan al Qur’an dan Sunnah dan kami berada dalam masyarakat yang mempunyai pandangan yang berbeda, dan di dalam buku-buku itu disebut perkataan Salafi atau ada sesuatu yang lain yang menunjukkan bahawa buku-buku tersebut adalah dari golongang pemikiran yang lain, orang tidak membeli buku-buku itu. ” Di Delhi ada sebuah pusat bernama ” Allama Ibn Baaz Center” daripada mana saya memesan beberapa buku kerana buku-buku tersebut baik tetapi tak seorang pun akan membelinya kerana pengarangnya adalah Dr. Luqmaan ” Salafi ”. Inilah masaalah yang saya hadapi.

Sdr. Aqil: Apakah anda seorang diri sahaja yang menerima cara ahlul-Hadis atau adakah anggota keluarga anda berubah juga?

Sdr. Muhammad Anas, ”Isteri saya, anak saya alhamdulillah melaksanakan solat sesuai dengan tuntutan al Qur’an dan Sunnah. ” Kami juga mengadakan sesi kajian selama 15 minit untuk membaca dari buku-buku, seperti yang sudah kami baca iaitu: ” Buku Berkenaan Solaat” oleh Shaikh Kailani.

Sdr. Aqil: Awalnya tadi anda memberitahu berkenaan anak perempuan anda dan masaalah yang dihadapinya. Apakah itu disebabkan bahawa dia sudah mulai melakukan Raf al-Yadain?

Sdr. Muhammad Anas: ”Ya, apalagi kalau bukan itu?” Mereka tidak menganggap hal ini (Raf al-Yadain) berasal dari Sunnah walaupun saya sudah memperlihatkan kepada mereka bukti-buktinya. Dan saya telah memberi mereka salinan foto dari kitab Maulana Abdul-Hayy Lakhnawi dan Imaam Muhammad yang menyebutkan bahwa Raf -al-Yadain itu terbukti berasal dari Sunnah. Tetapi pandangan mereka begitu buta sehingga mereka tidak boleh mengerti. Berapa banyakpun anda menerangkan kepada mereka, mereka tidak mengerti.”

Catatan: Raf al-Yadain adalah mengangkat kedua tangan ke paras telinga dalam solat sebelum rukuk dan selepas rukuk. Raf -al-Yadain adalah sunnah yang terbukti dari Ahadeeth Mutawattir tetapi kerana wujudnya semangat fanatik untuk mengikuti Mazhab di benua itu, orang ramai diperintah oleh ulama Mazhab untuk mengenepikan Hadis tersebut. Seringkali isu fiqah seperti Rah al-Yadain boleh digunakan sebagai batu loncatan untuk memecah rintangan taqleed dan membuka jalan untuk mebetulkan perkara lain dalam aqidah dan ibadah.

Sdr Aqil : Bagaiman perasaan anda sesudah meninggalkan jalan syirik dan bid’ah serta menuju ke jalan yang lurus dan tawhid. Apakah hati anda puas?

Sdr. Muhammad Anas: ”Ya, pasti saya merasakan sungguh puas sehingga jika saya mati hari ini, saya mempunyai harapan besar bahawa Allah akan mengasihi saya. ” Dan walaupun sedikit yang saya sudah lakukan untuk mengikuti Sunnah ,( ia) akan diterima oleh Allah. Saya berharapan penuh kepada Allah. Saya mempunyai kepuasan seperti terangnya satu cermin. Alhamdulillah.

Sdr. Aqil : Kerana anda kebanyakanya berurusan dengan buku-buku, adakah perubahan anda menjejaskan perniagaan dan pendapatan anda?

Sdr. Muhammad Anas: ” Ya, sudah tentu saja. Kerana saya sudah berhenti mencetak Fadilah-e-Sadaqat dan Fadilah-e-Hajj, yang dulu saya pernah cetak dalam 4 bahasa –Urdu, Hindi, Inggeris, Perancis dan sangat banyak yang dijual, seperti versi bahasa Urdu terjual 5000 salinan dalam masa 2 bulan. Oleh sebab itu, hal ini menjejaskan perniagaan saya tetapi saya tidak memperdulikannya, semoga Allah menghidarkannya dari saya, walaupun saya sampai ke tahap kelaparan, saya akan sanggup menerimanya kerana mata ini akan tertutup dan setiap orang pasti akan mati dan kita akan dipertanggungjawabkan atas semua (perbuatan kita) ”.

[Kami memohon kepada Allah untuk memberkati saudara Muhammad Anas dalam perniagaanya dan menerima pengorbanannya].

Sdr. Aqil: Anda telah melihat bahawa buku yang anda telah jual hingga sekarang (i.e. Fazaail - Aamaal) mempunyai banyak pernyataan kesyirikan di dalamnya. ( Umpamanya terdapat kisah di mana ) seorang yang warak menerima ilmu dari alam ghaib, ada kisah bahawa Rasulullah turun dari langit (setelah wafatnya), ada kisah bahawa tangan Rasulullah (sallallahu alaihi wasallam) keluar dari kubur, pada bahagian yang lain menceritakan pemimpin Jama’ah Tabligh mendengar jawapan salam mereka kepada Nabi. Setelah anda mengetahui aqidah yang sesat ini, adakah anda akan meneruskan jualan buku ini dalam berbagai bahasa.

Sdr. Muhammad Anas: ”Tidak, saya menganggap bahawa menjual buku ini sebagai satu dosa. ” Dan saya berkata kalaulah saya adalah pemilik tunggal buku-buku ini, sudah tentu aku sudah meletakkannya ke dalam laut dari dahulu lagi. Saya akan menjual perkara yang lain, tetapi bukan buku-buku itu, untuk masa kini kami sudah berhenti menerbitkan Fadilah-e-Sadaqat dan Hajj (ini adalah bahagian kedua Fazaail-Aamaal dan ia lebih menyimpang daripada yang pertama) dan kami bercadang untuk hentikan penerbitan Fazaail-Aamaal (i.e. bahagian pertama) Insya’ Allah.

Sdr. Aqil: Ceritakan kepada kami mengenai Fadilah Amal , sejak berapa lamakah anda mencetaknya dan adakah bapa anda yang memulai pekerjaan ini?

Sdr Muhammad Anas : ”Bapa saya adalah orang yang pertama menerbitkan buku ini dengan cetakan offset (sejak 50 tahun, mereka telah mencetak buku ini). Pada awalnya ia dicetak sebagai buku kecil yang berasingan seperti Hiyaakaat-e-Sahabah, Fadilah-e-Namaz dan lain-lain. Kemudian buku-buku tersebut disusun dalam satu jilid dan kemudian kumpulan buku ini dinamakan Tableegh-e-Nisaab, ia tidak dinamakan ’Tableegh-e-Nisaab” oleh Maulana Zakariyah (pengarang) tetapi dinamakan seperti itu oleh bapa saya. Kemudian apabila beberapa Barelvis (pengikit sufi sesat) menentangnya, maka namanya diganti dengan ” Fazaail -Amal ”

Sdr. Aqil: Yang terakhir, Adakah anda ingin menasehati mereka yang masih sibuk dalam penerbitan dan menjual buku tersebut?

Sdr. Muhammad Anas: ” Saya menganggap bahawa pendapatan yang berasal dari penjualan dan penyebaran buku seperti itu yang merusakkan aqidah adalah tidak halal. Oleh sebab itu sebaiknya seseorang itu perlu membatasi diri. Ada banyak buku-buku lain, mengapa tidak menjual buku yang sahih? Cerita-cerita burung kakak tua dan burung-burung, Kabutar Nama [cerita burung dara) [dia merujuk kepada cerita khurafat yang disebut oleh para Sufi dalam kitab mereka sebagai pengajaran]. Apabila buku yang baik (sahih) tersedia ada, maka buku inilah yang perlu disebarkan.

Sdr. Aqil : Adakah kedua saudara lelaki anda sudah menerima cara Ahlul-Hadeeth?

Sdr. Muhammad Anas: ”Ya, sebagaimana saya sebutkan tadi, adik lelaki saya yang bungsu yang mendengar rakaman CDs, sudah mulai melakukan Raf al-Yadain. Dia kata kepada saya, jika (Raf al-Yadain) ini benar, maka mengapa kita takut mengikutinya [ mengangkat tangan ketika rukuk dan selepas rukuk ] sedangkan ia terbukti berasal dari Rasulullah dan ia adalah Sunnah? Dan dia (Rasulullah) telah melakukannya hingga wafatnya. Oleh sebab itu, saya mulai (Raful-Yadain) kerana dia adalah di atas kebenaran”’

Sdr. Aqil: Apakah pesanan yang anda ingin sampaikan kepada pengikut Jamaah Tabligh untuk membantu mereka dalam mencari kebenaran?

Sdr. Muhammad Anas ; ”Adalah menjadi satu kewajipan bagi setiap individu untuk mencari kebenaran melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah dan menganalisa dengan teliti sama ada amalan mereka itu sesuai dengan Al -Qur’an dan As-Sunnah. Ini adalah pesanan umum untuk semua”.

Sdr. Aqil: Adakah anda ingin berpesan sesuatu kepada ulama Deobandi yang menyusun dan menyebarkan kitab-kitab seperti kitab Maulana Ashraf Ali Thanwi ” Aamaal-e-Qur’ani ” ?

Sdr. Muhammad Anas:”Ya, Maulana Ashraf Ali Thanwi adalah pengarang Aamaal-e-Qur’ani. Tetapi tidak jelas adakah buku ini kemudian dikaitkan dengannya atau dia sendiri yang menulis perkara seperti itu. Allah yang amat mengetahui tetapi apa yang saya temukan di dalamnya adalah betul-betul berlawanan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah oleh sebab itu saya sudah berhenti menjualnya.”

Sdr. Aqil : Buku itu jelas tidak dikaitkan dengannya sejak kebelakangan ini, kerana jika dikaitkan pada masa kebelakangan dengan Maulana Ashraf Ali Thanwi maka ulamak Deobandi sudah tentu akan menunjuk kepada pernyataan-pernyataan yang telah (salah) dikaitkan kepada Maulana tetapi ulama Deobandi selalu telah menyokongnya. Oleh sebab itu tidak salah jika dikaitkannya dengan Maulana Ashraf Ali Thanwi kerana itu adalah bukunya sendiri ”.

Sdr. Muhammad Anas: ”Saya hairan semasa saya membaca Hikayat-e-Awliya, yang juga dikenali dengan nama Arwah-e-Thalatha. Keseluruhannya ada 60-70 buku yang telah saya hentikan pencetakan dan penjualannya.”

Sdr. Aqil : Sudahkah anda melihat Tareekh-e-Mashaaikh-e-Christ oleh Maulana Zakariyah?

Sdr. Muhammad Anas: ”Saya sudah hentikan pesanan untuk buku itu juga. Saya juga sudah menyiapkan beberapa tulisan yang menjelaskan semua perkara seperti itu, yang terdapat dalam buku tersebut. Jika seseorang memberitahu saya sesuatu rujukan, saya secara peribadi akan menyiasatnya dan jika saya temui sesuatu yang salah saya akan tinggalkannya.”

Sdr. Aqil: Pengarang buku-buku seperti itu dari Ulama Deoband dan Barelvis, taqlid buta mereka tidak membolehkan mereka kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan setelah mengetahui kebenaran mereka tidak menyebarkannya. Apakah nasehat anda kepada mereka?

Sdr. Muhammad Anas: ”Agama ini disampaikan kepada kita melalui para Sahabat, tetapi jika seseorang ingin mencari buku-buku (sirah) mengenai mereka (biografi) dia tidak akan menemuinya. Tetapi para penuntut banyak menulis kitab sirah (biografi) Pir (tok guru) mereka yang meninggal 100 tahun yang lalu, dan bahkan hingga hari ini kita tidak mengenal para Sahabah.”

Catatan: Terdapat banyak biografi hanya mengenai kehidupan Maulana Ashraf Ali Thanwi dan sebahagian darinya terdiri dari 10 jilid.

Br. Aqil : Apakah pesanan anda untuk pendengar kita dan khususnya mereka yang masih bertungkus lumus mencari kebenaran. Kerana insya Allah keset anda ini akan sampai kepada mereka dan apabila mereka mengetahui bahwa penebit utama buku-buku ini telah bertaubat kepada Allah, maka sudah tentu perkara ini akan melembutkan hati mereka dan mendorong mereka untuk mengambil agama berdasarkan Al-Qura’an dan Sunnah.

Sdr. Muhammad Anas :” Pertama pesana saya ialah periksalah semua amalan anda dan telitilah sama ada amalan tersebut sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah. Seseorang itu tidak boleh mengikut semua perkara atas perkataan orang lain, dan kini terdapat begitu banyak buku-buku yang ada yang tidak menyebutkan sumber rujukan. Jadi individu itu harus menyelidik dan memastikan sama ada amalannya benar atau salah. Semoga Allah memberi taufik-Nya kepada kita.”



Nota; Laporan di atas dibuat oleh Sajim A. Kayum pada 29 Dec.2002, (rujuk Sajid@ahya.org) termasuk temuduga En. Muhammad Aqil dengan En. Muhammad Anas (rujuk Muhammadaqil@hotmail.com). Rakaman audio temuduga ini boleh didapati dilamanweb www.ahya,org. Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia telah dibuat oleh Abu Nida’ di Jakarta dan ubahsuainya ke dalam bahasa Malaysia dibuat oleh Abu Zain dan Abu Syahir di Kajang.
type="text/javascript">